Para ahli memberikan secercah harapan muncul di tengah pandemi virus Corona jenis baru atau Covid-19 dengan segala upayanya.
JEDA.ID— Para ahli memberikan secercah harapan muncul di tengah pandemi virus Corona jenis baru atau Covid-19. Ahli yang melacak penyebaran virus penyebab Covid-19 tersebut menyimpulkan bahwa mutasi virus tersebut lebih lambat daripada virus pernapasan lainnya, contohnya influenza.
Dikutip Bisnis.com dari Business Insider, Kamis (26/3/2020), lambatnya laju mutasi SARS CoV-2–virus yang menyebabkan pandemi Covid-19–memiliki dua implikasi, yaitu virus tersebut tidak mungkin menjadi lebih berbahaya karena terus menyebar.
Hal tersebut juga berarti bahwa pemberian vaksin terhadap manusia bisa efektif menangkal virus tersebut dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, pemberian vaksin tersebut dilakukan sekali seumur hidup layaknya vaksin campak atau cacar air. Bukan seperti vaksin influenza yang harus diberikan setiap rentang waktu tertentu.
Peter Thielen, ahli genetika molekuler di Johns Hopkins University, mengatakan bahwa analisis terhadap 1.000 sampel berbeda mengungkapkan hanya ada 4 hingga 10 perbedaan genetik antara virus yang telah menginfeksi orang di AS dan virus asli yang menyebar di Wuhan, China.
“Pada titik ini, tingkat mutasi virus akan menunjukkan bahwa vaksin yang dikembangkan untuk SARS CoV-2 akan menjadi vaksin tunggal, bukan vaksin baru setiap tahun seperti vaksin flu,” kata Thielen.
Lebih lanjut, Thielen menjelaskan semua virus akan bermutasi seiring waktu. Ketika mereka mereplikasi diri, kesalahan kecil terus-menerus dimasukkan ke dalam kode genetik virus, dan kemudian menyebar melalui populasi virus.
Membongkar 7 Kelemahan Virus Corona dan Cara Menangkalnya
Bermutasi Setiap 10 Hari
Mutasi-mutasi seperti itu memecah virus menjadi jenis-jenis yang berbeda, tetapi cenderung tidak mempengaruhi seberapa menular virus itu atau bagaimana penyebarannya.
Andrew Rambaut, seorang ahli biologi evolusi molekuler di Universitas Edinburgh mengatakan kepada Science bahwa SARS-CoV-2 mengakumulasi rata-rata sekitar satu hingga dua mutasi per bulan. “Ini sekitar dua hingga empat kali lebih lambat dari flu,” katanya.
Adapun Trevor Bedford, seorang ilmuwan di Pusat Penelitian Kanker Fred Hutchinson, sebelumnya menyebut bahwa virus influenza bermutasi setiap 10 hari.
Sebagian besar mutasi itu tidak penting, tulisnya di Twitter, tetapi kadang-kadang orang akan muncul yang merusak kekebalan masyarakat terhadap flu.
“Itu sebabnya kita harus mendapatkan suntikan flu baru setiap tahun, dan juga mengapa vaksin flu tidak selalu 100 persen berpengaruh,” ujarnya.
Menguji darah pasien yang sembuh
Upaya menemukan obat virus corona terus dilakukan para ahli dan dokter. Salah satunya yakni menguji coba darah mereka yang sudah sembuh dari Covid-19.
Laman The New York Times menyebut, pihak rumah sakit di Amerika Serikat masih menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) untuk memulai studi, walau tidak ada jaminan hal ini memiliki hasil positif.
“Kita tidak tahu hingga mencobanya, tetapi bukti historis mendukung,” kata Dr. Arturo Casadevall dari Johns Hopkins University’s school of public health.
Dr. Jeffrey Henderson dari Washington University School of Medicine di St. Louis mengatakan, saat seseorang terinfeksi oleh kuman tertentu, tubuh mulai membuat protein yang dirancang khusus yang disebut antibodi untuk melawan infeksi.
Setelah orang tersebut pulih, antibodi-antibodi itu mengapung dalam darah para penyintas – khususnya plasma, bagian cair dari darah – selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Hebat, 5 Anak ini Jadi Miliarder Sebelum Umur 15 Tahun
Tidak Khawatir
Studi nantinya menguji apakah memberikan infusi plasma kaya antibodi kepada pasien COVID-19 akan meningkatkan upaya tubuh mereka sendiri untuk melawan virus.
Untuk penelitian Covid-19, para ilmuwan akan mengukur berapa banyak antibodi dalam satu unit plasma yang disumbangkan.
Para peneliti tidak khawatir kesulitan menemukan donor sukarela. Mereka mengingatkan akan membutuhkan waktu untuk membangun persediaan.
“Saya mendapatkan beberapa email dari orang-orang yang mengatakan, ‘Dapatkah saya membantu, dapatkah saya memberikan plasma saya?’” kata Dr. Liise-anne Pirofski dari New York’s Montefiore Health System and Albert Einstein College of Medicine.