Karena kekayaan biota laut dan potensi migas, wilayah perairan Natuna menjadi wilayah yang diperebutkan Indonesia dan negara lain hingga hari ini.
JEDA.ID – Kawasan perairan Natuna kembali memanas beberapa pekan terakhir menyusul pendudukan kapal-kapal China di wilayah tersebut. Natuna masuk dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia dan menjadi salah satu wilayah perairan produktif hingga hari ini.
Perairan Natuna ada “harta karun” dengan potensi kekayan laut mulai dari cumi-cumi, lobster, kepiting, hingga rajungan, serta sektor energi. Perairan Natuna memiliki sumber daya perikanan laut yang mencapai dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatannya baru sekitar 36%.
Natuna juga memiliki cadangan gas bumi terbesar se-Indonesia yaitu 54,78 kaki kubik. Dana hasil migas menjadi sumber pendapatan utama bagi Natuna.
Selain itu, Berdasarkan laporan studi Kementrian Energi dan Sember Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak yang dimiliki Natuna mencapai 308,30 juta barel.
Natuna yang masuk Provinsi Kepulauan Riau merupakan kepulauan paling utara di Selat Karimata. Luas Natuna mencapai 141.901,20 kilometer persegi dengan rincian 138.666,0 kilometer persegi berupa perairan (lautan) dan 3.235,20 km2 daratan.
Karena potensinya, Natuna kerap menjadi sumber konflik Indonesia dan China. Bahkan karena wilayahnya yang berbatasan dengan sejumlah negara, wilayah ini sempat menjadi sumber masalah dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam.
Isu Maritim Jokowi
Philip Bowring dalam NYR Daily menulis, langkah Indonesia mengganti nama jadi Laut Natuna Utara pada 2017, merupakan pengingat betapa seriusnya Indonesia memperlakukan posisinya sebagai tempat kerajaan perdagangan kuno dan lokasi beberapa selat strategis paling penting di dunia, yaitu Melaka, Sunda, Lombok, dan Makassar.
Sejak terpilih pertama kali pada 2014, Presiden Joko Widodo telah membuat isu-isu maritim yang penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia, dengan membangun angkatan laut, menangkap puluhan kapal asing yang tertangkap secara ilegal, dan mengambil langkah yang tenang namun tegas mengenai hak-hak laut.
Meski tidak populis, kebijakan tersebut umumnya disetujui, terutama oleh militer, yang sejak perang kemerdekaan melawan Belanda telah melihat dirinya sebagai penjaga integritas bangsa dan statusnya yang diakui secara internasional.
Natuna terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai. Pada 1957, Kepulauan Natuna masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia.
Namun pada abad ke-19, Kepulauan Natuna akhirnya masuk ke dalam kepenguasaan Kedaulatan Riau dan menjadi wilayah dari Kesultanan Riau. Natuna sampai saat ini masih menjadi jalur strategis dari pelayaran internasional.
Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menyerahkan kedaulatan pada Republik Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa.
Pada 18 Mei 1956, pemerintah Indonesia resmi mendaftarkan Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sempat ada kajian dari akademisi Malaysia, bahwa Natuna secara sah seharusnya milik Negeri Jiran. Namun, untuk menghindari konflik lebih panjang setelah era konfrontasi pada 1962-1966, maka Malaysia tidak menggugat status Natuna.
Lepas dari klaim sejarah tersebut, Indonesia sudah membangun pelbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi ini. Etnis Melayu jadi penduduk mayoritas, mencapai 85 persen, disusul Jawa 6,34 persen, lalu China 2,52 persen.
Jejak Perairan Natuna yang Posisinya Strategis Sekaligus Kaya
Konflik Terbuka
Jurnal the Diplomat pada 2 Oktober 2014 sudah meramalkan konflik terbuka antara China-Indonesia akan muncul cepat atau lambat.
Analis politik Victor Robert Lee mengatakan, Natuna pada awal abad 20 cukup banyak dihuni warga China. Namun, seiring waktu, terutama setelah dikuasai resmi oleh Indonesia, warga Melayu dan Jawa jadi dominan.
Victor mengaku punya bukti, bahwa ada permintaan resmi warga keturunan China di Natuna agar RRC menganeksasi pulau itu.
“Setelah konfrontasi Malaysia-Indonesia, disusul sentimen anti-Tionghoa di kawasan itu, jumlah warga keturunan China di Natuna turun dari kisaran 5.000-6.000 menjadi tinggal 1.000 orang,” tulisnya.
Muncul selentingan, warga China yang masih bertahan menghubungi Presiden China Deng Xiaoping pada dekade 80-an. “Ada permintaan kepada Deng agar China mendukung kemerdekaan wilayah Natuna yang dihuni mayoritas Tionghoa, atau paling tidak memasukkan kepulauan itu di wilayah administrasi China,” kata Victor.
Pada 2009 secara nyata China melanggar Sembilan Titik ditarik dari Pulau Spartly ditengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Saat itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memprotes langkah China melalui Komisi Landas Kontinen PBB. Di mana garis putus-putus yang diklaim China sebagai Pembaharuan peta 1947 membuat pemerintah Indonesia atas negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan.
Klaim yang membuat repot negara-negara tetangga ternyata dipicu dari kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (saat itu di Taiwan). Bahwa wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan.
Meski saat itu China tidak pernah menyinggung isu Natuna dihadapan PBB, sejak 1996 Indonesia telah mengerahkan lebih dari 20.000 personil TNI untuk menjaga Natuna yang memiliki cadangan gas terbesar di Asia.
Akar Konflik Muslim Uighur di Xinjiang China
Era Jokowi
Memasuki era Presiden Joko Widodo, pihaknya kembali menegaskan dengan keras, bahwa Sembilan Titik yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum internasional apapun.
Bahkan dikutip dari Surat Kabar Jepang Yomiuri Shimbun, Presiden Joko Widodo mengatakan China perlu hati-hati dalam menentukan peta perbatasan lautnya.
Namun, pada pengujung 2019 Natuna kembali memanas. Indonesia kembali bersengketa dengan China di Laut Natuna. Perseteruan dipicu berlayarnya Kapal Coast Guard China di perairan Natuna pada 19 hingga 24 Desember 2019 tanpa izin.
China mengklaim Laut Natuna masih wilayah mereka. Pemerintah Indonesia berang. Tidak terima dengan klaim China. Pemerintahan Indonesia langsung bersikap tegas dengan memanggil Duta Besar China untuk Indonesia hingga menambah pasukan TNI untuk berjaga di Natuna.
Pemerintah China mulai melunak dengan menyebut persoalan Natuna bisa diselesaikan secara diplomatis. Meski begitu, masih banyak kapal-kapal China melanggar batas perairan.
Cari Laut Jadi Sampah di Laut, Ini Barang-Barang yang Paling Sulit Terurai