Sebuah laporan studi menemukan kondisi yang membuat pandemi seperti corona mungkin lebih banyak terjadi di masa depan.
JEDA.ID-Sebuah laporan studi menemukan kondisi yang membuat pandemi seperti corona mungkin lebih banyak terjadi di masa depan. Seperti meningkatnya permintaan daging liar dan kerusakan lingkungan.
United Nations Environment Programme (UNEP) dan International Livestock Research Institute mengatakan virus corona jenis baru penyebab Covid-19 hanyalah yang terbaru dari semakin banyak penyakit termasuk ebola yang menyebar dari hewan ke hewan.
Laporan berjudul Mencegah Pandemi Selanjutnya: Penyakit Zoonosis dan Cara Memutus Rantai Penularan, menemukan bahwa peningkatan jumlah penyakit zoonosis disebabkan ketika patogen melompat dari hewan ke manusia. Hal ini didorong oleh perusakan lingkungan alam melalui degradasi lahan, eksploitasi satwa liar, ekstraksi sumber daya, dan perubahan iklim.
“Ilmu pengetahuannya jelas bahwa jika kita terus mengeksploitasi satwa liar dan menghancurkan ekosistem kita, maka kemungkinan akan ada penyakit yang terus-menerus berpindah dari hewan ke manusia di tahun-tahun mendatang,” kata direktur eksekutif UNEP Inger Andersen.
“Pandemi menghancurkan kehidupan dan ekonomi kita, dan seperti yang telah kita lihat selama beberapa bulan terakhir, yang paling menderita adalah yang termiskin dan paling rentan. Untuk mencegah wabah di masa depan, kita harus lebih berhati-hati dalam melindungi lingkungan alami kita,” lanjut Andersen seperti dikutip dari detikcom, Rabu (8/7/2020).
Setiap tahun sekitar 2 juta orang, sebagian besar di negara berpenghasilan rendah dan menengah meninggal karena penyakit zoonosis yang terabaikan, demikian laporan tersebut.
Virus Corona Menyebar Lewat Udara, WHO Didesak Ubah Rekomendasi
Andersen mengatakan bahwa virus corona jenis baru penyebab Covid-19 mungkin yang terburuk untuk saat ini, tetapi itu bukan yang pertama atau yang terakhir.
“Kita sudah tahu bahwa 60 persen dari penyakit menular yang diketahui pada manusia dan 75 persen dari semua penyakit menular yang muncul adalah zoonosis. Ebola, SARS [sindrom pernapasan akut parah], virus Zika, dan flu burung semuanya datang kepada manusia melalui hewan,” katanya.
Dikutip dari SCMP, meningkatnya konsumsi hewan liar di Asia Timur, terutama di daratan China, mungkin meningkatkan risiko virus atau penyakit zoonosis yang melonjak dari hewan ke manusia, studi tersebut memperingatkan.
Dikatakan bahwa pada 2006, hampir 20.000 usaha pembiakkan satwa liar dan pertanian telah didirikan di Tiongkok.
“Karena konsumen kaya cenderung lebih suka binatang yang ditangkap dari alam, daging dari peternakan ini sering dikonsumsi oleh kelas menengah China yang berkembang pesat,” menurut laporan itu, yang diluncurkan di Ibu Kota Kenya, Nairobi, Senin (6/7/2020).
Laporan itu juga mengatakan bahwa pasar basah tradisional, di mana daging segar, ikan, dan lainnya yang mudah rusak dijual, dikaitkan dengan penyebaran SARS dan Covid-19.
“Ada konsensus bahwa pasar informal dapat berisiko secara epidemiologis, terutama yang menjual hewan peliharaan atau hewan liar hidup atau mati dan yang memiliki kebersihan yang buruk,” kata laporan itu.
Pandemi corona belum mereda, sekarang mulai bermunculan virus yang diduga bisa menjadi pemicu pandemi di masa mendatang, salah satunya adalah virus G4 yang berasal dari babi. Selain virus G4, ilmuwan juga menemukan amuba pemakan otak.
Virus G4 Berpotensi Jadi Pandemi, Ini Alasannya
Pejabat kesehatan di Florida, Amerika Serikat, telah mengeluarkan peringatan darurat setelah ditemukannya amuba langka ‘pemakan otak’ yang menginfeksi manusia.
Department of Health (DOH) mengatakan amuba itu biasanya berakibat fatal, tetapi tidak memberikan rincian tentang kondisi orang yang sakit di wilayah Hillsborough.
Amuba itu dikenal dengan nama Naegleria Fowleri yang biasanya ditemukan di air tawar seperti sungai, kolam, danau, dan mata air. Amuba memasuki tubuh melalui hidung dan menyerang otak, memicu infeksi yang sering berakibat fatal.
Atas kejadian ini, DOH mendesak masyarakat untuk menahan diri dari berenang di air tawar hangat, yang biasanya berada di dekat pembangkit listrik dan perairan dangkal pada hari dengan cuaca yang sangat panas.
“Efek kesehatan yang merugikan pada manusia dapat dicegah dengan menghindari kontak hidung dengan air karena amuba itu masuk melalui saluran hidung,” kata DOH dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Express dan dikutip bisnis.com, Selasa (7/7/2020).
Pihak berwenang juga mengatakan siapa pun yang menggunakan perangkat irigasi harus menggunakan air yang steril dan tidak mengeluarkan air dari keran, “Gunakan hanya air yang direbus, disuling, atau air steril untuk membuat solusi bilas sinus atau melakukan hal lain,” imbuh lembaga itu.
Namun demikian, DOH juga meyakinkan warga Florida bahwa amuba itu terbilang langka dan satu-satunya tidak akan menyebabkan gangguan besar pada musim panas. Disebutkan bahwa penyakit ini jarang terjadi dan dapat dicegah dengan strategi tertentu.
Virus G4 Berpotensi Jadi Pandemi, Ini Tanggapan Pemerintah China
Adapun, gejala biasanya termasuk sakit kepala, mual, demam, muntah, dan bahkan kejang. Orang yang terinfeksi juga dapat mengalami kekakuan pada leher, kehilangan keseimbangan, dan mengalami halusinasi.
Sejak 1962, dilaporkan bahwa hanya ada 37 kasus yang tercatat di Florida. Namun, dari 143 kasus yang tercatat di seluruh Amerika Serikat, hanya ada empat orang yang berhasil selamat. Rata-rata, mereka yang menyerah pada infeksi meninggal dalam waktu 5 hari setelah amuba memasuki sistem tubuh.
Infeksi tunggal di Florida ini terjadi ketika negara bagian selatan itu sedang bertempur melawan pandemi global virus corona baru atau Covid-19. Pada akhir pekan lalu, AS mencatatkan jumlah kasus harian terbanyak.