Singkatnya kunjungan wisatawan ke Museum Sangiran yang berjarak sekitar 15 km dari Kota Solo ini memantik pengembangan wisata baru di kawasan Sangiran.
JEDA.ID–Menjejakkan kaki di Sangiran seperti dibawa ke jutaan tahun silam. Kini Sangiran tidak hanya berkisah tentang masa lalu, namun juga menawarkan wisata kekinian. Berbagai objek wisata baru muncul di sekitar Museum Sangiran, objek wisata utama di kawasan ini.
Sangiran memang lekat dengan manusia purba. Di Sangiran inilah ditemukan lebih dari 70 individu yang mewakili 50% jumlah populasi Homo Erectus seluruh dunia.
”Fosil-fosil tersebut mewakili dua tahap awal dari tiga tingkatan evolusi Homo Erectus yang pernah terjadi di Indonesia yaitu Homo Erectus Arkaik dan Homo Erectus Tipik,” sebagaimana tertulis di laman cagarbudaya.kemdikbud.go.id yang dikutip jeda.id, Jumat (28/6/2019).
Kawasan Sangiran tempat ditemukannya berbagai situs purbakala terbentang seluas 5.921 hektare. Lokasinya meliputi 2 kabupaten, 4 kecamatan, 23 kelurahan, serta 166 dusun. Di Sragen ada Kecamatan Plupuh, Kecamatan Kalijambe, dan Kecamatan Gemolong. Sedangkan di Karanganyar ada Kecamatan Gondangrejo.
Kali pertama Sangiran disurvei Eugene Dubois pada 1893. Kini Sangiran diakui oleh para ilmuwan menjadi salah satu situs yang paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia. Sangiran disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (Tiongkok), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan).
Temuan Fosil
Berbagai penemuan fosil kerap ditemukan di kawasan itu. Kali terakhir penemuan terjadi pada Senin, 24 Juni 2019. Tim peneliti dari Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran, Sragen, menemukan tulang hewan purba saat melakukan ekskavasi di pinggir Bengawan Solo wilayah Dukuh Butuh, Desa Banaran, Sambungmacan, Sragen.
”Kami melakukan survei di wilayah Sambungmacan sebenarnya sejak 2013. Pada 2018 lalu juga survei di beberapa lokasi di sepanjang aliran Bengawan Solo. Nah, pada 2019 ini kami menyurvei 14 lokasi yang berpotensi terdapat endapan tanah masa purba,” jelas anggota staf BPSMP Sangiran Ilham Abdullah sebagaimana dikutip dari Solopos.com.
Sebelumnya, Tim arkeolog dari BPSMP Sangiran fokus untuk menemukan kubur kuno yang kental dengan tradisi peninggalan zaman megalitikum pada Maret 2019. Upaya penemuan kubur kuno itu dilakukan di Dusun Toho dan Dusun Dung Banteng, Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe.
Berbagai temuan fosil itu kemudian ditampilkan di Museum Sangiran. Museum Sangiran ini berdiri di jantung kawasan Sangiran di Krikilan, Kalijambe, Sragen. Museum ini memajang 13.809 fosil manusia purba. Terdapat juga fosil binatang bertulang belakang, binatang laut, dan air tawar.
Museum Sangiran terdiri atas beberapa klaster yaitu Museum Manusia Purba Klaster Krikilan, Museum Manusia Purba Klaster Bukuran, Museum Manusia Purba Klaster Manyarejo, Museum Manusia Purba Klaster Ngebung, hingga Museum Manusia Purba Klaster Dayu.
Museum Sangiran ini menjadi tujuan utama wisatawan datang ke kawasan itu. Berdasarkan data Pemkab Sragen, jumlah wisatawan ke Museum Purbakala Sangiran terus meningkat. Bila pada 2011 lalu ada 135.556 wisatawan, pada 2017 lalu menjadi 234.550 wisatawan. Rata-rata para wisatawan menghabiskan waktu di museum itu sekitar 2,5 jam-3 jam.
Wisata Eksklusif
Singkatnya kunjungan wisatawan ke Museum Sangiran yang berjarak sekitar 15 km dari Kota Solo ini memantik pengembangan wisata baru di kawasan Sangiran.
Pengacara asal Kota Solo M. Taufiq mengelola tempat wisata Bukit Nur Sangiran yang baru di buka Juni 2019. Bukit Nur Sangiran ini tepat berada di belakang Museum Purbakala Sangiran. Dengan luas lahan hampir 1 hektare, tempat ini dikonsep menjadi wisata sosial keluarga.
”Sebenarnya sudah dipersiapkan sejak tiga tahun lalu. Kemudian digarap dan mendekati sempurna dan dibuka pada Lebaran lalu,” ujar Taufiq saat dihubungi jeda.id.
Dia menyebut tempat itu memiliki beragam fasilitas mulai tempat menginap, kolam renang, trek jogging, area panahan, hingga bukit yang bisa didaki. Ada pula beragam tanaman langka di tempat itu. Ada juga pohon kurma yang berbuah.
”Selama ini wisatawan datang ke museum lihat fosil hanya sekitar 40 menit. Kami menawarkan rekreasi sosial keluarga yang bisa memberi nilai lebih. Ada gazebo untuk menikmati suasana. Areanya luas sehingga seluruh keluarga bisa menikmati,” ujar dia.
Taufiq mematok tarif Rp4,5 juta per hari bagi wisatawan lokal yang ingin menikmati seluruh fasilitas di tempat itu. Tempat itu bisa menampung puluhan orang bila ada keluarga yang datang dalam rombongan besar. Tarif berbeda berlaku untuk wisatawan asing yaitu US$150 untuk dua jam.
Kebun Bunga
Cerita lain datang dari Supriyanto, 33, pemuda asal Simo, Boyolali. Dia mengembangkan Kebun Bunga Celosia Sangiran di Dusun/Desa Krikilan, Kalijambe, Sragen. Tempat yang baru dibuka April 2019 ini menjadi daya tarik wisatawan domestik dari sekitar Kalijambe, Gemolong, Plupuh, Simo, Kalioso dan lain-lain.
Beragam bunga yang dibudidayakan di kebun ini antara lain celosia, matahari, seribu bintang dan lain-lain. Ada pula jenis tanaman kenop dan iler yang juga dikategorikan sebagai tanaman obat. Semua tanaman itu dibudidayakan di undukan tanah berlapis mulsa.
Meski lahan di sekitar tanaman itu tampak kering hingga berongga, tanaman itu tetap tumbuh subur karena kadar air pada tanah yang tertutup mulsa itu tetap terjaga.
Aneka tamanan dengan bunga warna-warni disusun sedemikian rupa menyerupai crop circle. Pada bagian tengah dari kebun bunga ini terdapat tiga kincir angin berukuran mini. Kebun bunga seluas sekitar 4.000 meter persegi ini dirintis Supriyanto sejak Januari 2019 lalu.
Dia yang pernah terlibat dalam pembuatan kebun bunga matahari di kawasan Simo itu sengaja menyewa lahan tegalan di Desa Krikilan untuk dikembangkan menjadi kebun bunga.
”Ini adalah lahan yang kurang produktif. Dalam setahun, tanah ini hanya bisa sekali ditanami padi yakni saat musim hujan. Sebenarnya bisa dua kali tanam padi, tapi pada musim tanam kedua peluangnya 50:50. Jadi, bisa panen tapi juga bisa gagal panen karena kalau musim kemarau lahannya sangat kering. Sekarang lahan kering ini sudah diubah jadi lahan produktif, tapi dikemas dalam bentuk objek wisata,” ucap Supriyanto.
Dengan tiket masuk Rp5.000 per orang, setiap hari ratusan orang mengunjungi kebun bunga ini. Supriyanto memberdayakan dua karyawan dari warga sekitar. Terdapat empat pedagang yang membuka lapak di lokasi. Tidak hanya itu, terdapat enam pedagang yang datang pada sore hari saat objek wisata ini ramai dikunjungi.
”Jadi, keberadaan objek wisata ini bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi warga sekitar yang ingin berjualan di lokasi,” terang Supriyanto.