• Thu, 28 March 2024

Breaking News :

Youtuber Bukan Sahabatmu, Ini Hubungan Parasosial

Wahai Generasi Z, jika cita-citamu menjadi youtuber bersiaplah untuk menjadi pencipta ruang interaksi satu arah. Sebuah hubungan parasosial yang melahirkan dampak psikologis.

JEDA.IDYoutuber dengan subscriber paling banyak se-Asia Tenggara pemegang Diamond Award, Atta Halilintar, bersuara lantang di tiap awal vlog yang ia unggah di channel Youtube miliknya. Suara youtuber yang satu ini mendayu merayu.

“Terima kasih sudah klik video ini. Tapi jangan lupa guys klik tombol subscribe, karena subscribe itu gratis. Dengan subscribe kamu terus support channel ini terus untuk upload hampir setiap  hari.  Inget subscribe itu gratis, gratis enggak ada ruginya kamu klik tombol subscribe. Selamat menonton. Enjoy!”

Jumlah subscribers atau pengikut channel Atta kini mendekati angka 18 juta. Janjinya untuk mengunggah vlog hampir setiap hari pun ditepati.

Satu vlog yang memancing komentar penuh kagum diunggah Atta 23 Juli 2019, judulnya GREBEK RUMAH MEWAH ROSSA! 30Miliar Ada Rahasia… 

Dalam dua hari vlog ini ditonton 1,1 juta lebih. Komentar para penonton pun beragam. Mayoritas mereka ingin Atta mendatangi atau grebek rumah idola mereka. Salah satu yang diminta adalah rumah Ria Ricis, youtuber yang juga tak kalah terkenal dari Atta (dengan jumlah subscriber saat ini hampir 16 juta).

Komentar lain adalah soal pengaruh inspirasi. “Konten yang paling ditunggu dari atta, ‘grebek rumah’ ? selalu menarik Dan menginspirasi,” begitu komentar pemilik akun Bang Reza.

Sebuah komentar dari Dimaschannel berbunyi, “ATTA jangan terlalu banyak grebek rumah orang,sering sering ngeprank adik adik kayak saaih,ngeprank yg seru.”

Saaih yang dimaksud adalah Saaih Halilintar adik kandung Atta pemilik akun Youtube @Saaihalilintar. Permintaan ngeprank atau berbuat jahil itu pun direspons Atta. Pada 25 Juli 2019, ia membuat unggahan vlog berisi kejahilannya terhadap Saaih.

Menjalin Komunikasi

Akun youtuber Atta Halilintar dalam satu unggahannya. (Youtube)

Apa yang dilakukan Atta merespons permintaan para penonton akun Youtube miliknya menjadi bentuk hubungan sosial. Dengan memenuhi permintaan penontonnya, Atta seakan-akan menjalin komunikasi aktif melalui media sosial. Si penonton pun seolah-olah telah menjalin hubungan sosial dengan Atta, yang menjadi idolanya.

Vlog Atta, yang hampir setiap hari diunggah, memiliki banyak penonton yang bersetia menonton. Mereka setiap hari menunggu Atta memunculkan konten, lalu penonton berkomentar pada kolom komentar. Begitu terus.

Seolah tak ada yang salah dengan apa yang mereka (Atta dan para penggemar setianya) lakukan. Namun ada yang dilupakan dan kerap tak menjadi perhatian. Penonton Atta tak benar-benar berteman dengannya.

Barangkali satu atau dua kali Atta akan kopi darat alias bertemu penggemar. Namun di antara mereka, yang bukan dalam lingkup pertemanan keseharian Atta, tak ada yang berakhir menjadi sahabatnya di dunia nyata.

Hal inilah yang disebut hubungan parasosial sebuah hubungan yang terbentuk dari interaksi parasosial. Sebuah hubungan satu arah, yang jika dibiarkan akan berdampak pada hilangnya kemampuan bersosialisasi dengan manusia lain di dunia nyata.

Muasal Parasosial

Ikon Youtube dan youtuber. (Freepik)

Dua sosiolog University of Chicago, Amerika Serikat, Richard Wohl and Donald Horton pada 1956 menerbitkan tulisan berjudul Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a distance di Jurnal Psychiatry. Dalam tulisan inilah kali pertama istilah parasosial diperkenalkan.

Wohl dan Horton seperti dilansir The Verge mengungkapkan interaksi dan hubungan parasosial adalah istilah yang menjelaskan bagaimana pemirsa membangun rasa keterkaitan kepada figur media (selebritas).

Rasa keterkaitan itu memendek menjadi kasih sayang satu sisi, yaitu pemirsa memberikan energi emosional dan rasa sayangnya kepada para pesohor.

Para pemirsa membangun rasa kekeluargaan dan kedekatan yang membuat seolah-olah mereka tahu dan mengenal si selebritas meski sang idola tak tahu hal itu bahkan sama sekali tak kenal.

Dalam Psychology Today disebutkan sebuah kajian terbaru yang menggali bagaimana dan kenapa orang menggunakan Youtube untuk mengganti hubungan (sosial) dengan orang lain (di dunia nyata).

Para peneliti De Béraila, Guillon dan Bungenera dari the Psychology Institute of the Université Paris Descartes-Sorbonne Paris Cité, di Paris, Prancis berpendapat bahwa menonton Youtube itu adiktif,  menyertai sebuah model adiksi Internet. Hal ini menggiring para pengguna ke arah hubungan parasosial yang menggantikan hubungan nyata.

Para penonton Youtube disebut merasakan hal yang nyata, bahkan lebih nyata dari yang nyata (hyperreality/hiperrealitas). Mereka mengistilahkan hal itu dengan mengatakan: “lebih membahayakan dibanding membawa kebaikan.” Lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya.

Risiko Kecanduan

Ilustrasi responden penonton youtuber. (Freepik)

Menggunakan perspektif perilaku-kognitif, ketiga penulis merancang penelitian untuk melihat kunci penentu fenomena kecanduan Youtube. Tujuannya agar bisa merancang langkah pertama yang efektif untuk mencegah dan mengintervensi kecanduan Youtube.

Studi ini dilakukan melalui survei online berupa polling menggunakan grup di  Facebook dan Reddit untuk mengidentifikasi seberapa sering mereka menonton Youtube. Tim peneliti mengontak lebih dari seribu grup online dari berbagai minat bahasan. Total respons yang didapat dari survei ini berjumlah 932 responden, dengan hasil:

  • Hampir dua pertiga responden adalah perempuan dengan usia rata-rata lebih dari 21 tahun.
  • Hampir 51% dilaporkan menonton Youtube sekitar 4 jam/pekan.
  • Kurang dari 20% menonton menonton Youtube kurang dari 1 jam/pekan
  • 17,7% responden mengalami kecanduan ringan Youtube.
  • 1% responden mengaku kecanduan menonton Youtube agak berat.

Kecanduan menonton Youtube berkorelasi erat dengan gejala kecemasan sosial dan munculnya hubungan parasosial.

Hubungan parasosial sendiri berkorelasi dengan meluasnya kecemasan sosial, kegelisahan, menyendiri dan kesepian. Semakin orang menarik diri dari lingkungan dan lebih banyak menggunakan Youtube, mereka semakin berisiko kecanduan.

Orang-orang dengan gejala kecemasan sosial berisiko terikat dengan para youtuber yang menampilkan kepribadian beragam dan penuh warna. Kepribadian para youtuber itu kemudian digunakan untuk memenuhi dan menyeimbangkan hubungan sosial dengan orang lain di dunia nyata.

Kecemasan sosial terkait erat dengan image diri yang negatif dan kecenderungan bicara sendiri, gejala ini mengarahkan orang pada pikiran bahwa orang lain selalu berpikir buruk tentangnya. Termasuk jika orang lain tertawa, ia akan menanggap orang menertawainya. Paling parah adalah mereka mudah merasa dihakimi padahal orang lain bahkan tidak tahu apapun tentangnya.

 

Ditulis oleh : Maya Herawati

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.