• Fri, 19 April 2024

Breaking News :

Berdampak 3 Jenderal Dicopot, Ini Perjalanan Kasus Djoko Tjandra

Djoko Sugiarto Tjandra, buron kasus cessie (hak tagih) Bank Bali baru=baru ini membuat heboh negeri ini bahkan berdampak hingga pencopotan sejumlah pejabat polisi.

JEDA.ID – Djoko Sugiarto Tjandra, buron kasus cessie (hak tagih) Bank Bali baru=baru ini membuat heboh negeri ini bahkan berdampak hingga pencopotan sejumlah pejabat polisi.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengapresiasi Kapolri Jenderal Idham Azis yang bergerak cepat dan bertindak tegas dalam membongkar upaya sejumlah jenderal dalam melindungi buronan Joko Tjandra yang sebelumnya memiliki nama Djoko Tjandra.

Polri telah mencopot dan menahan Brigjen Prasetijo Utomo disusul Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dari jabatannya.

“Tiga jenderal sudah dicopot Kapolri dalam dua hari dan ini tentunya wujud dari sikap promoter untuk menjaga marwah kepolisian,” kata Neta S Pane, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/7/2020) seperti dilansir Bisnis.com.

Menurut dia, hal ini tidak cukup hanya sampai di situ agar kasus ini tuntas dan bisa membawa efek jera bagi para jenderal untuk bermain-main melindungi orang orang bermasalah.

 

Yang Perlu Dilakukan Kapolri

Menurut Pane, ada lima hal lagi yang patut dilakukan Kapolri.

Pertama, segera membuka CCTV Bareskrim agar bisa mengungkap siapa saja yang mendampingi dan menjemput saat Djoko Tjandra datang mengurus surat jalan tersebut.

Kedua, apa motivasi para jenderal itu dalam memberi keistimewaan kepada buronan Kejaksaan Agung ini.

Ketiga, disebut-sebut dalam kasus Djoko Tjandra ini ada dugaan gratifikasi dan ke mana saja aliran dananya.

Keempat, semua pihak di Polri yang terlibat kasus Djoko Tjandra, terutama ketiga jenderal yang dicopot harus segera diproses pidana dibawa ke pengadilan, karena kasus persekongkolan jahat dalam melindungi buronan pengalihan hak tagih utang Bank Bali ini adalah kejahatan luar biasa.

Kelima, semua pihak di luar Polri yang terlibat memberi keistimewaan kepada Djoko Tjandra, mulai dari lurah hingga Dirjen Imigrasi harus diperiksa dan kasusnya diselesaikan di pengadilan.

Hal itu, menurut Pane, bertujuan agar persekongkolan jahat dalam melindungi Djoko Tjandra bisa terungkap secara terang benderang dan selesai dengan tuntas di pengadilan.

Setelah itu Polri perlu mencermati proses permohonan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung, dan jika ada indikasi negatif penyidik Bareskrim jangan segan menciduk oknum yang terlibat.

“Hanya dengan kerja keras yang promoter dari Kapolri Idham Azis, citra Polri bisa terbangun lagi setelah dihancurkan Djoko Tjandra,” kata Pane.

Ingin Cepat Hamil? Deretan Buah Ini Diyakini Mampu Menyuburkan Kandungan

Berikut adalah sepak terjang pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, 62 tahun lalu, seperti dilansir  detikcom dari berbagai sumber.

11 Januari 1999

Perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara pihak Bank Bali (Rudy Ramli dan Rusli Suryadi) dan Djoko S Tjandra selaku Direktur PT Persada Harum Lestari mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp 38.000.000.000 dibuat. Penyerahan kepada Bank Bali (BB) selambat-lambatnya tanggal 11 Juni 1999.

Dibuat juga perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama. Namun dalam perjanjian ini, Djoko Tjandra berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP). Perjanjian ini mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan nilai pokok seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal perjanjian ini dibuat.

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli dan Direktur Firman Sucahya menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT EGP Setya Novanto. Melalui perjanjian itu, BB menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya kepada BDNI, BUN (keduanya dilikuidasi 1998), dan Bank Bira pada PT EGP. Total tagihan pinjaman antarbank milik Bank Bali kepada BDNI, BUN dan Bank Bira mencapai Rp 3 triliun.

8 September 1999

Laporan hasil audit terhadap PT Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) terbit. Tata cara yang berlaku untuk GGS pada BPPN dan BI tidak cukup untuk menghindari terulangnya kejadian serupa. PwC mengusulkan agar dibuat metode terpadu untuk menyelamatkan dana yang sudah diselewengkan pada masa lalu.

PwC menganjurkan dilakukan investigasi atas pihak-pihak tertentu, seperti menteri, pejabat senior pemerintah, oknum anggota DPR dan partai, serta pelaku bisnis terkemuka, namun tidak dianjurkan atas individu tertentu.

27 September 1999

Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.

29 September 1999 – 8 November 1999

Djoko ditahan oleh Kejaksaan.

9 November 1999 – 13 Januari 2000

Djoko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.

14 Januari 2000 – 10 Februari 2000

Djoko kembali ditahan oleh kejaksaan.

9 Februari 2000

Kasus cessie skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

10 Februari 2000 – 10 Maret 2000

Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.

Disuntikkan atau Disemprotkan Melalui Hidung, Ini Cara Kerja Vaksin Virus Corona

6 Maret 2000

Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.

31 Maret 2000

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

19 April 2000

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

April 2000 – Agustus 2000

Upaya perlawanan jaksa berhasil. Proses persidangan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp904.642.428.369.

Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Djoko juga dituntut membayar denda sebesar Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp7.500.

Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.

28 Agustus 2000

Majelis hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

21 September 2000

Antasari, selaku JPU, mengajukan kasasi.

26 Juni 2001

Majelis hakim agung MA melepaskan Djoko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai permohonan kasasi Djoko Tjandra yang diajukan oleh JPU.

12 Juni 2003

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

17 Juni 2003

Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.

19 Juni 2003

BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Djoko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003

Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

1 Juli 2003

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.

2 Maret 2004

Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.

Oktober 2008

Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.

11 Juni 2009

Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.

Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.

16 Juni 2009

Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.

Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.

Juli 2012

Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan.

Ditulis oleh : Anik Sulistyawati

Menarik Juga

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.