Sebelum anggur Janetes muncul, di era Presiden Abdurrahman Wahid ada varietas padi Sintanur dan pada masa Presiden Megawati ada varietas Fatmawati.
JEDA.ID–Ketika Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menberi nama anggur varietas baru dengan nama Janetes, seketika pro-kontra mengemuka. Nama anggur Janetes itu tidak bisa lepas dari nama Jan Ethes Srinarendra, cucu pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Syahrul Yasin pun mengakui memberi nama varietas baru anggur itu dengan nama Janetes karena terinspirasi dari sosok Jan Ethes. Manis dan bawaannya mengajak orang tertawa gembira.
Itulah sensasi itu yang dirasakan Syahril Yasin Limpo ketika mencicipi buah anggur varietas baru hingga akhirnya menyematkan nama Janetes untuk varietas baru itu.
Anggur ini dikembangkan di kebun Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) di Grati, Pasuruan, Jawa Timur.
Nama lengkap varietas varietas anggur ini Janetes SP-1. Kode SP-1 itu menunjuk sebagai varietas pertama dari galur yang ada. Anggur Janetes SP-1 ini memiliki warna kulit hijau anggur.
Diyakini anggur ini semanis anggur Prancis atau Spanyol, cepat tumbuh, dan produktif. Satu pohon bisa menghasilkan 25 kg setahun.
Dengan potensi agronomisnya yang kuat dan dibekali nama Janetes yang kondang, varietas baru diharapkan punya daya tendang untuk mendobrak pasar yang didominasi anggur impor.
Kepala Balitjestro Herwanto sebagaimana dikutip dari laman indonesia.go.id, Rabu (20/11/2019), menjamin penamaan itu tak akan mengaburkan nama-nama penelitinya. Bahkan, pendaftaran hak cipta ke Ditjen Kekayaan Intelektual di Kemenkum-HAM juga atas nama para penelitinya.
Nama varietas anggur Janetes SP-1 ini lebih dimaksudkan untuk memudahkan urusan sosialisasi. Orang dekat presiden pun biasa dipinjam untuk tujuan tersebut. Di era Gus Dur ada varietas padi Sintanur dan pada masa Presiden Megawati ada varietas Fatmawati, nama ibunda dari Megawati.
Varietas Lain
Balitjestro sendiri sudah menghasilkan sejumlah varietas seperti anggur hijau bening Jestro-AG60 (2009), anggur merah Jestro-Ag5 (2009), Jestro-Ag86 (2015) warna unggu tua.
Sebelumnya sudah ada varietas Probolinggo Biru-81, Bali, Kediri Kuning, Probolinggo Super, dan Prabu Bestari, yang semuanya telah teruji untuk daerah tropis seperti Indonesia.
Boleh dibilang produksi anggur di Indonesia tergolong rendah bila dibandingkan dengan buah-buahan lainnya. Ini yang menjadikan anggur impor mendominasi pasar. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi anggur pada 2018 mencapai 10.867 ton.
Produksi pada 2018 itu lebih rendah dari produksi pada 2017 yang mencapai 11.735 ton. Sentra anggur selama ini secara terbatas ada di Jawa Timur (Kediri, Probolinggo, Pasuruan, Situbondo), Buleleng (Bali) dan Kupang (NTT).
Ada pula kawasan Tegal, Ambarawa, dan beberapa kota di Pantura sudah sejak zaman Belanda sudah mengembangkan anggur jenis Isabella dan hasilnya cukup baik.
Isabella juga pernah dikembangkan di Palu, Sulteng dengan hasil sebaik anggur impor, namun pengembangan anggur di Palu ini terhenti karena kendala pemasaran. Selain kendala pemasaran, Anggur Probolinggo dan Bali tidak berkembang karena merupakan anggur wine.
Sebagaimana dikutip dari laman Balitjestro, Indonesia sebenarnya juga punya koleksi puluhan jenis anggur, baik untuk buah segar, wine maupun kismis, yang berlokasi di Kebun Percobaan Banjarsari, Pasuruan.
Pengembangan buah ini sebenarnya sangat strategis, sumber bibitnya ada, agroklimatnya mendukung, pasarnya juga ada. Paling tidak untuk subtitusi anggur impor.
Peluang Besar
Dibandingkan dengan kawasan subtropis, Indonesia sebagai negeri tropis sebenarnya juga punya beberapa keunggulan, di samping beberapa kelemahannya.
Produktivitas anggur di kawasan tropis, lebih rendah dibanding dengan kawasan subtropis. Kalau di kawasan subtropis hasil optimal anggur bisa mencapai 20 ton per hektar per tahun, maka di negeri kita hanya separuhnya.
Namun, panen anggur di kawasan subtropis hanya bisa sekali dalam setahun. Sedangkan di Indonesia bisa hampir tiga kali dan saat panennya bisa diatur sepanjang tahun.
Kalau umur panen anggur 105 hari semenjak pemangkasan daun, dalam setahun (365 hari) logikanya bisa panen 3 kali. Namun, anggur menuntut masa istirahat 20 hari setelah habis panen sampai saat pemangkasan.
Kementan mencatat kawasan-kawasan yang potensi untuk anggur adalah Flores, dan Timor Barat, kawasan Bali utara (sekitar Singaraja). Kemudian Pasuruan serta Probolinggo yang selama ini dikenal sebagai sentra anggur karena memiliki udara kering dan suhu udara yang panas.
Beda dengan di NTT yang panjang panas mataharinya bisa mencapai 6 jam per hari di musim hujan dan 10,5 jam di musim kemarau. Ditambah lagi musim penghujan di NTT hanya sekitar 3 bulan.
Panas matahari ini sangat penting dalam proses fotosintesis tanaman anggur. Lembah-lembah penghasil anggur di Perancis panjang harinya di musim panas mencapai 17 jam per hari.
Ditambah dengan faktor suhu dan kelembapan udara, angin dan struktur tanah maka kawasan ini menjadi penghasil anggur terbaik di dunia. Jadi kita nantikan apakah anggur Janetes SP-1 ini akan mampu bersaing dengan anggur impor?