Redenominasi atau menyederhanakan nilai rupiah kembali diwacanakan Pemerintah Indonesia.
JEDA.ID-Redenominasi atau menyederhanakan nilai rupiah kembali diwacanakan Pemerintah Indonesia. Wacana itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Dalam regulasi tersebut, RUU Redenominasi masuk dalam 19 Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Mengutip PMK 77 Tahun 2020, Selasa (7/7/2020), ada 2 keuntungan atau dampak positif yang menjadi alasan Kemenkeu melanjutkan wacana redenominasi tersebut.
Pertama, redenominasi dapat menimbulkan efisiensi pada perekonomian. Pasalnya, redenominasi dapat mengurangi waktu transaksi, human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah.
Sistem transaksi dan juga akutansi juga lebih sederhana dengan pengurangan angka nol di rupiah. Lalu, bagi negara keuntungannya ialah penyederhanaan pelaporan APBN.
Kemudian, menurut Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, redenominasi bisa menaikkan martabat rupiah. Ia menilai wacana ini akan berdampak bagus dan harus cepat dibahas dan disiapkan.
“Redenominasi kan penyederhanaan dengan hilangkan nol-nya, jadi Rp 1.000 jadi Rp 1. Ini kan bisa mengangkat martabat uang kita, yang seperti tidak bernilai saat ini karena nolnya kebanyakan, jadi saya kira harusnya cepat dibahas,” kata Piter kepada detikcom, Selasa (7/7/2020).
Namun redominasi rupiah ini juga punya kekurangan. Pengurangan jumlah angka nol di rupiah ini bisa memiliki dampak yang cukup serius jika tak dilakukan dengan hati-hati atau tanpa menyesuaikan kondisi perekonomian.
Rekomendasi 5 Film Horor Terbaik, Berani Nonton?
Berkaca pada Brasil di tahun 1986-1989, negara itu sampai mengalami hiperinflasi yang angkanya mencapai 500% per tahun ketika mengubah mata uang cruzeiro menjadi cruzado. Redenominasi di Brasil mengakibatkan kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap dolar AS hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap dolar AS.
Selain itu, menurut peneliti ekonomi Indef Bhima Yudhistira redenominasi bisa mempengaruhi penghitungan akuntansi dan adminstrasi puluhan juta perusahaan.
“Momentum pemulihan ekonomi sebaiknya jangan ada kebijakan yang kontraproduktif. Penyesuaian terhadap nominal baru akan mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta perusahaan di Indonesia. UMKM saja ada 62 juta unit usaha,” ungkap Bhima ketika dihubungi detikcom, Selasa (7/7/2020).
“Alih-alih mau pemulihan ekonomi, mereka sibuk mengatur soal nominal harga di barang yang dijual, bahan baku bahkan administrasi perpajakan,” sambungnya.
Redenominasi pada rupiah juga bisa memberikan efek psikologis yang cukup berbahaya. Perencana Keuangan Aidil Akbar mengatakan efek psikologis yang berbahaya itu diakibatkan oleh psikologis yang tertanam di paradigma masyarakat, harga itu murah.
Kemudian, secara berkelanjutan keinginan belanja masyarakat akan lebih tinggi. Untuk kalangan menengah dengan kategori masyarakat yang keinginan mempunyai barang mahal namun tabungan rendah, ini akan berdampak buruk.
Fakta Ikan Cupang yang Harganya Bisa Mencapai Puluhan Juta Rupiah
Oleh sebab itu, redenominasi ini perlu diterapkan dengan melakukan sosialisasi yang rutin dan berkala. Penerapannya pun harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian masyarakat.
Redenominasi ini sudah pernah dilakukan beberapa negara. Namun, ada negara yang sukses menerapkan pengurangan angka nol di mata uangnya, ada juga yang gagal hingga berdampak pada perekonomian negara itu sendiri.
Dikutip dari detikcom, Rabu (8/7/2020), ada beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi yaitu Turki, Rumania, Polandia, dan Ukraina.
Turki
Turki mulai menerapkan redenominasi pada tahun 2005. Mata uang Lira (TL) dikonversi menjadi Lira baru dengan kode YTL. Kala itu, konversi mata uang lama ke baru dilakukan dengan menghilangkan 6 angka nol. Kurs konversi adalah 1 YTL untuk 1.000.000 TL.
Penerapan redemoninasi di Turki dilakukan dengan sangat hati-hati. Prosesnya pun berlangsung selama 7 tahun. Dalam prosesnya, pemerintah Turki sangat memperhatikan stabilitas perekonomian dalam negeri.
Pada tahap awal, mata uang TL dan YTL beredar secara simultan selama setahun. Kemudian mata uang lama ditarik secara bertahap digantikan dengan YTL. Pada tahap selanjutnya, sebutan ‘Yeni’ pada uang baru dihilangkan sehingga mata uang YTL kembali menjadi TL dengan nilai redenominasi. Selama tahap redenominasi, keadaan perekonomian tetap terjaga. Inflasi Turki pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 juga tetap stabil di kisaran 8-9%.
Rusia
Tak semua negara yang melakukan redenominasi berujung pada keberhasilan seperti Turki. Sebut saja Rusia, Argentina, Zimbabwe, dan Korea Utara yang tercatat gagal melakukan redenominasi. Brasil pun pernah gagal melakukan redenominasi, namun akhirnya berhasil pada tahun 1994.
Uang Saku Kurang? Ini 6 Usaha yang Dapat Dilakukan Mahasiswa
Kegagalan negara-negara tersebut diakibatkan oleh timing yang tidak pas. Redenominasi yang seharusnya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang stabil, justru diterapkan negara-negara tersebut pada saat kondisi perekonomian tidak stabil dan memiliki tingkat inflasi yang tinggi. Salah satu contohnya yakni Rusia. Di sana, redenominasi bahkan dianggap sebagai instrumen tak langsung pemerintah merampok kekayaan rakyat.
Korea Utara
Korea Utara memenggal angka nol di mata uang won, dari 100 won menjadi 1 won pada tahun 2009. Kegagalannya ialah stok mata uang baru yang terbatas. Pasalnya, ketika warga hendak menggantikan uang lama won ke uang baru, stok uang baru tidak tersedia.
Brasil
Keberhasilan Brasil melakukan redenominasi pada tahun 1994 diraihnya dengan mengarungi proses yang cukup lama dan juga kegagalan yang pernah menghampiri. Pada tahun 1986-1989, negara tersebut pernah gagal melakukan redenominasi.
Brasil melakukan penyederhanaan mata uangnya dari cruzeiro menjadi cruzado. Namun, kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap dolar AS hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap dolar AS. Kegagalan ini dikarenakan pemerintah Brasil tidak mampu mengelola inflasi yang pada waktu itu masih mencapai 500% per tahun.