• Fri, 22 November 2024

Breaking News :

Pendataan Akun Media Sosial Mahasiswa Kembali Mengemuka

Bila menggunakan rata-rata satu mahasiswa memiliki 2-3 akun media sosial, akan ada 16 juta-24 juta akun media sosial.

JEDA.ID–Wacana pendataan akun media sosial mahasiswa, dosen, hingga pegawai di perguruan tinggi kembali mengemuka. Menristekdikti Mohamad Nasir menyebut langkah itu untuk menangkal paham radikalisme dan intoleransi di kampus.

”Penerimaan mahasiswa baru, rektor lakukan pendataan elemen ada. Baik dosen, pegawai, dan mahasiswa. Apa yang didata? Nomor HP, [akun] media sosial yang dia gunakan,” ucap Nasir di Jakarta, Jumat (26/7/2019), sebagimana dilansir Detikcom.

Rencana pendataan akun media sosial di kalangan kampus bukan cerita baru. Pada 2018 lalu, wacana ini juga disampaikan Kemenristekdikti. Alasannya juga sama yaitu menangkal radikalisme di perguruan tinggi.

Nasir mengaku tidak bermaksud membatasi aktivitas mahasiswa dalam kegiatan akademik atau nonakademik. Langkah pendataan akun media sosial ini dilakukan akan memudahkan pihak universitas atau aparat hukum untuk melacak ideologi seseorang.

Dia mengatakan tidak kepentingan apa pun selain ingin menangkal radikalisme. ”Kami ingin data dulu. Tidak ada kepentingan apa pun. Saya tidak ingin lacak semua mahasiswa. Kalau ada kegiatan di situ, di kampus kegiatan ekstrem, lihat nomor telepon dan media sosial. Dari media sosial itu yang kita lacak, ‘Oh ternyata dia terkena jaringan Al-Qaida.’ Ini sebagai pendataan kami,” kata Nasir.

Pendataan akun media sosial mahasiswa ini bisa dibilang bukan perkara gampang. Berdasarkan data Kemenristekdikti, pada 2018 ada lebih dari 8 juta mahasiswa di Indonesia. Sedangkan mahasiswa baru pada 2018 lalu mencapai 1,73 juta orang dan mahasiswa yang lulus 1,24 juta orang.

Mereka menempuh pendidikan di universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, akademi komunitas, hingga politeknik. Bila menggunakan rata-rata satu mahasiswa memiliki 2-3 akun media sosial, akan ada 16 juta-24 juta akun media sosial yang didata. Belum lagi bila mahasiswa mengganti atau membuat akun media sosial baru.

Begitu pula dengan dosen di Tanah Air yang mencapai lebih dari 294.000 orang. Bila tiap dosen punya 2-3 akun media sosial, hampir 1 juta akun yang didata.

Kerja Sama BNPT

Nasir membuka opsi ke depannya Kemenristekdikti bekerja sama dengan lembaga lain seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menganalisis akun-akun media sosial mahasiswa.

”Kami ingin data dulu, mungkin nanti kerja sama dengan BNPT, dan lain-lain. Yang diinginkan, jangan mereka menyebarkan radikalisme, intoleransi di kampus,” ucap Nasir.

Salah satu sorotan tentang radikalisme di kampus adalah mencuatnya sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur yang 70 persen mahasiswanya terpapar radikalisme.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Polisi Hamli tidak mau mengungkapnya. Dia hanya mengatakan salah satu sumber radikalisme di lingkungan kampus adalah jenjang pendidikan di bawahnya.

”Dari SMA-nya, pondok pesantrennya, mereka sudah terpapar,” ujar Hamli dalam siaran pers sebagaimana dikutip dari Suara.com.

Hamli meminta data yang disampaikannya tidak ditanggapi secara reaktif terkait kampus yang mempunyai mahasiswa radikal itu. Terutama oleh kalangan kampus, sebagaimana dahulu sewaktu BNPT mengungkap temuan radikalisme di sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Dia menuturkan bahwa temuan radikalisme di lingkungan kampus bukan hal baru. Pada tahun 1983, ditemukan adanya aktivitas keagamaan di salah satu masjid, lingkungan kampus yang berlangsung hingga pukul 03.00 WIB.

“Ini seharusnya menjadi perhatian kampus.Pencegahan bisa diawali dari kecurigaan-kecurigaan atas hal-hal yang janggal,” kata Hamli.

Tak Perlu Panik

Sementara itu, bila erkaca pada 2018 lalu saat wacana pendataan akun media sosial gencar disuarakan, banyak protes yang mengemuka. Kala itu, pengamat komunikasi politik Effendi Ghazali menilai pemerintah terlalu panik dalam mengatasi universitas yang terpapar paham radikal.

Ia memaklumi kebijakan tersebut namun menurutnya, kebijakan seperti itu justru akan menimbulkan celah bagi mahasiswa karena terkesan dicurigai.

”Jangan panik dulu, dikaji, mungkin saja Pak Menristekdikti punya pertimbangan-pertimbangan tertentu tapi apakah dengan itu tidak langsung membuat semacam sebuah mental gap yang begitu besar bahkan semua mahasiswa ini dicurigai,” ujar Effendi sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.

Ketimbang mengimbau calon mahasiswa mencantumkan akun media sosial mereka, Effendi justru mempertanyakan peran tokoh-tokoh yang ada di universitas.

Dia mengatakan seharusnya pihak universitas menyadari kondisi mahasiswa ataupun dosen yang ada di lingkungan kampus. Dari situ, kata Effendi, pihak universitas bisa mengkaji ataupun merumuskan kebijakan jika terjadi indikasi faham radikalisme.

”Kan sebetulnya bisa dilawan kalau betul kita punya tokoh-tokoh bangsa, ulama yang berpengaruh di organisasi-organisasi resmi di struktur-strukturnya ataupun yang misalnya berakar di tengah masyarakat kita nah ke mana aja selama ini,” ujar Effendi.

Ditulis oleh : Danang Nur Ihsan

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.