Penerapan karantina sudah ada sejak zaman dulu, di mana ilmuwan muslim Ibnu Sina memiliki peran penting dalam memperkenalkan metode tersebut.
JEDA.ID – Pandemi Covid-19 saat ini, membuat World Health Organization (WHO), pakar medis, dan pemerintah di berbagai negara menekankan pentingnya karantina mandiri alias physical distancing guna mencegah penyebaran virus tersebut.
Namun tahukah Anda metode karantina tersebut ternyata sudah ada sejak zaman dulu? Ahli kesehatan muslim termahsyur, Ibnu Sina memiliki peran besar dalam penerapan metode karantina diri untuk mencegah persebaran penyakit.
Ibnu Sina memang tak asing dalam dunia kedokteran modern karena berbagai temuan hebatnya turut berkontribusi banyak dalam bidang kesehatan.
Ibnu Sina atau orang Barat biasa menyebutnya dengan Avicenna adalah seorang dokter muslim yang menyusun sebuah buku terkenal dalam sejarah kedokteran yakni The Canon of Medicine.
Pria yang lahir pada 980 dan meninggal pada 1037 ini juga dijuluki sebagai Father of Doctor karena banyak menggagas ilmu-ilmu kedokteran. Karyanya yang paling terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan referensi di bidang kedokteran selama berabad-abad hingga saat ini.
Selain itu, ada salah satu ilmunya yang berguna ditengah pandemi corona saat ini, yaitu karantina diri.
Melansir dari Morocco World News, Jumat (15/5/2020) penerapan karantina yang tertulis dalam buku The Canon of Medicine karya Ibnu Sina tersebut menjelaskan bahwa karantina dilakukan untuk mengawasi persebaran penyakit menular pada masa itu.
Karantina juga diharapkan bisa menekan infeksi penyakit, sehingga jumlah kasus tidak bertambah.
Tak Perlu Skincare Mahal, Ini 5 Tips Kecantikan Alami ala Islam
Selama 40 Hari
Metode karantina yang dijelaskan Ibnu Sina tersebut dikenal dengan Al-Arba’iniya atau the fortieth yang diterjemahkan sebagai quarantena dalam Bahasa Venetian, Veneto, Italia.
Sesuai namanya, Al-Arba’iniya adalah sanitary isolation yang dilakukan selama 40 hari dengan membatasi ruang dan gerakan. Pada saat itu, karantina adalah praktik wajib di seluruh rumah sakit untuk mencegah penyebaran kusta.
Penyakit kulit infeksius ini ditandai dengan munculnya bercak putih pada kulit pasien, yang bisa berujung amputasi atau kehilangan anggota tubuh.
Selain itu, Ibnu Sina dalam bukunya juga menjelaskan tentang infeksi atau kasus penyakit menular.
Penjelasannya ini berhasil dikutip oleh penulis bernama Ihsan Ali dan Ahmet Guclu, dalam tulisan yang berjudul Ibn Sina: An Exemplary Scientist, yang mengambil dari buku Advice to the Young Physician: On the Art of Medicine oleh Richard Colgan.
“Cairan tubuh organisme inang, misal tubuh manusia, jika terkontaminasi organisme asing yang tidak terlihat mata telanjang maka dapat mengakibatkan infeksi,” tulisnya seperti menyadur dari The Fountain.
Menekan Penularan
Penjelasan Ibnu Sina tentang infeksi tersebut sama dengan yang digunakan dunia medis saat ini, termasuk soal mikroorganisme yang tak kasat mata. Dalam hipotesanya, Ibnu Sina juga menjelaskan penyakit akibat mikoorganisme ini bisa cepat menular pada lingkungan sekitar, sehingga mereka yang terinfeksi harus dikarantina untuk menekan kasus penularan.
Melansir dari Okezone, para penulis lain kemudian meneiliti lebih lanjut tentang pernyataan tersebut, dengan mengutip buku Robert Koch berjudul A Life in Medicine and Bacteriology yang diterbitkan di Washington DC.
Dalam buku itu ada sebuah kutipan berbunyi: “Pada abad ketujuh belas, hampir tujuh abad setelah Ibnu Sina, ilmuwan Belanda Anton van Leeuwenhoek (juga disebut sebagai Father of Microbiology) mengamati mikroorganisme di bawah mikroskop (van Leeuwenhoek 1980). Dengan penemuan mendasarnya tersebut, ia menunjukkan bahwa ada organisme hidup yang tidak terlihat dengan mata telanjang.
Hasil dari pengamatan Van Leeuwenhoek tersebut membuktikan bahwa mikroorganisme ini [misalnya patogen: penyakit yang menyebabkan mikroba] sebenarnya bisa menjadi penyebab infeksi. Ini sesuai dengan penemuan yang dibuat oleh Ibnu Sina tujuh abad sebelumnya, meskipun bukti yang ada sangat terbatas.
Agar Aman dan Nyaman, Ini Panduan Belanja Sayur Online
Wabah Black Death
Setelah itu, hampir dua abad setelah pengamatan pertama Leeuwenhoek, pada 1876, Robert Koch, seorang dokter Jerman, juga melakukan penelitian yang sama dan dengan hasil yang sama pula.
Hal ini karena sejalan dengan pengamatan fundamentalnya yang membuktikan bahwa darah hewan yang terinfeksi mengandung bakteri patogen. Ketika dipindahkan ke hewan sehat, bakteri itu bisa menyebabkan hewan penerima menjadi sakit.
Selain itu, bukti nyata penerapan metode karantina tersebut juga terjadi di Eropa selama serangan wabah Black Death pada abad ke-14 dan ke-15.
Pada saat itu, karantina dilakukan pada daerah yang menjadi tempat bertemunya pedagang antarnegara misal di Venesia, Italia. Karantina dilakukan selama 40 hari pada seluruh kru dan penumpang kapal yang akan berlayar.
Berkat efektivitas dan keberhasilan karantina untuk menekan penyebaran epidemik, metode ini akhirnya terus digunakan hingga sekarang. Tentunya mekanisme dan durasi menyesuaikan dengan kondisi wabah, sehingga tidak harus 40 hari.