Akan ada lompatan hukum yang baik bila Presiden Jokowi berani memberikan amnesti Baiq Nuril.
JEDA.ID–Baiq Nuril Maknun, guru honorer di SMA negeri di Mataram, NTB, akan mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bila Baiq Nuril menerima amnesti, terpidana kasus UU ITE itu akan mencatat sejarah karena selama ini pemberian amnesti kebanyakan diberikan untuk kasus politik.
”Saya tidak akan menyerah. Harapannya saya ingin Bapak Presiden mengabulkan permohonan amnesti saya. Saya sebagai anak, ke mana lagi harus saya meminta berlindung kalau bukan kepada bapaknya,” jelas Baiq Nuril seusai bertemu Menkumham Yasonna H. Laoly di Jakarta, Senin (8/7/2019), sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Dalam kasus ini, Baiq Nuril merupakan korban pelecehan seksual. Dia sejatinya dilecehkan oleh Haji Muslim. Untuk membela diri, ia kemudian merekam pembicaraan telepon Haji Muslim yang berisi perkataan cabul.
Oleh MA, perekaman dan penyebarluasan itu dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum sehingga Baiq dijatuhi hukuman 6 bulan penjara serta denda Rp500 juta.
Yasonna memastikan akan mengusulkan amnesti Baiq Nuril dalam kasus UU ITE. Amnesti dinilai sebagai upaya tepat untuk memastikan perlindungan terhadap korban kasus pelecehan seksual.
Amnesti diatur dalam UUD 1945 yaitu presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Amnesti dan abolisi diatur dalam UU Darurat No. 11/1954. Dalam UU itu dijelaskan dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan.
Sebelum Jokowi, presiden Indonesia beberapa kali memberikan amnesti. Sebagian besar, amnesti diberikan kepada orang yang terseret kasus hukum karena urusan politik atau keamanan.
Pemberontakan di Era Soekarno
Presiden Soekarno pernah memberikan amnesti dan abolisi dengan mengeluarkan Keputusan Nomor 303 tahun 1959. Presiden memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan DI/TII.
Dua tahun berselang, amnesti dan abolisi diberikan untuk orang yang tersangkut pemberontakan di berbagai daerah seperti di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, hingga Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keputusan tersebut diambil untuk kepentingan negara dan kesatuan bangsa.
Presiden Soeharto juga pernah mengeluarkan amnesti umum dan abolisi kepada para pengikut gerakan Fretelin di Timor Timur. Presiden B.J. Habibie sebagai pengganti Soeharto juga pernah mengeluarkan amnesti atau abolisi lewat Keppres No. 80/1998.
Dua orang yang mendapatkan amnesti dan atau abolisi adalah tokoh oposisi kala itu Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Habibie juga memberikan amnesti kepada tahanan politik Papua yaitu Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba.
Presiden keempat Abdurrahman Wahid juga pernah memberikan amnesti dalam masa kepemimpinan yang singkat tersebut kepada mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko. Budiman kemudian menjadi politikus PDIP.
Sedangkan Presiden Megawati dan SBY belum pernah mengeluarkan amnesti. Presiden Jokowi kini dorong mengeluarkan amnesti untuk Baiq Nuril. Meski bukan kasus politik, namun langkah memberikan amnesti untuk Baiq dinilai tepat.
Tak Khusus Kasus Politik
Ahli hukum tata negara UGM Oce Madril menilai dalam negara yang demokratis, amnesti tidak ditujukan kepada terpidana politik semata. ”Kalau zaman Orde Lama dan Orde Baru, rezim otoriter memang menonjol sehingga amnesti ditujukan ke hal demikian. Tapi dalam negara yang demokratis, amnesti bisa saja ditujukan untuk penguatan hak asasi manusia,” cetus Oce, Selasa (9/7/2019), sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Guru besar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho menyatakan akan ada lompatan hukum yang baik bila Presiden Jokowi berani memberikan amnesti Baiq Nuril. ”Karena selama ini amnesti untuk kasus-kasus politik,” kata dia.
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pada perdebatan perumusan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, para perumus tidak terlalu memperdebatkan hak presiden memberikan amnesti dipakai untuk kasus apa saja.
Bivitri membedah alasan lahirnya amnesti, yaitu kepentingan negara. Selama ini, hal itu dimaknai sebagai kepentingan negara dari kejahatan politik, kelompok pemberontak, atau kegiatan politik. Namun kasus Baiq Nuril bukan kasus politik. Bivitri meminta Jokowi memaknai kasus itu dalam konteks materi perkaranya, yaitu diskriminasi terhadap perempuan.
”Ini [amnesti Baiq Nuril] gestur penting bagi Jokowi untuk menguatkan pesan politik, bukan asal-asal memaknai politik. Kedua, penghapusan RUU PKS masih terhambat di DPR. Ini penting bagi pemerintah menunjukkan pada kasus konkret seperti Baiq Nuril,” kata dia.