• Sun, 28 April 2024

Breaking News :

Pengaruh Cuaca pada Persebaran Virus Corona di Antara Kajian dan Mitos

Para ahli terus berupaya menguak misteri virus corona salah satunya untuk menguak korelasi antara persebaran virus tersebut dengan cuaca dan iklim.

JEDA.ID—Para ahli terus berupaya menguak misteri virus corona salah satunya untuk menguak korelasi antara persebaran virus tersebut dengan cuaca dan iklim.

Saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, orang-orang memiliki rutinitas baru di pagi hari, yakni berjemur. Aktivitas ini memang menyehatkan, sama menyehatkannya dengan rajin olahraga, gosok gigi, atau mengonsumsi makanan bergizi, namun bukan berarti bisa membunuh virus Corona.

Panasnya cuaca bisa membunuh Corona adalah mitos di era pagebluk ini. Begitulah kesimpulan sementara dari berdasarkan kajian sains. Sains maju karena perubahan tanpa henti, melalui falsifikasi satu ke falsifikasi lainnya. Bukan tidak mungkin kebenaran sains hari ini bisa berubah lagi di hari berikutnya. Namun setidaknya, kesimpulan bahwa virus Corona tidak bisa mati oleh panas sinar matahari disampaikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Menjemur diri Anda di bawah matahari atau suhu yang lebih tinggi dari 25 derajat Celcius tidak mencegah penyakit akibat virus Corona [Covid-19],” demikian tertulis dalam ‘Myth busters’ situs resmi WHO, sebagaimana dilansir detikcom, Jumat (3/4/2020).

Pentingnya Kesehatan Tangan

Dijelaskan WHO, Covid-19 bisa menjangkiti tubuh kita tanpa peduli seterik apapun dan sepanas apapun cuacanya. Negara-negara dengan cuaca panas telah melaporkan kasus Covid-19. Maka untuk melindungi diri Anda dari Covid-19, pastikan bahwa tangan Anda bersih dengan cara sering mencucinya, hindari pula menyentuh mata, mulut, dan hidung.

“Dari bukti sejauh ini, Covid-19 dapat menyebar di semua wilayah, termasuk wilayah dengan cuaca panas dan lembap. Terlepas dari iklim, terapkanlah langkah perlindungan di tempat Anda tinggal atau di tempat yang dilaporkan terjadi Covid-19. Cara terbaik untuk melindungi diri Anda dari Covid-19 adalah dengan membersihkan tangan Anda secara sering,” kata WHO.

Paparan sinar ultaviolet dari lampu UV juga tidak bisa mensterilkan tangan atau kulit Anda. Malahan, paparan lampu UV bisa membuat iritasi kulit. Mandi air hangat juga tidak mencegah penularan Covid-19. Bagaimanapun suhu air yang digunakan untuk mandi, suhu tubuh manusia normal bakal tetap berkisar antara 36,5 derajat Celcius hingga 37 derajat Celcius. Mandi dengan air yang sangat panas bisa melukai tubuh dan membakar.

Akhir Pandemi Covid-19 di Indonesia dalam Prediksi Para Pakar

Jangan Beri Harapan Palsu

Direktur Eksekutif program kedaruratan kesehatan WHO, Mike Ryan, mengimbau semua pihak untuk tidak memberi harapan palsu soal Covid-19. Soalnya, belum ada hasil penelitian yang pasti soal virus jenis baru ini.

“Kita harus berasumsi bahwa virus ini akan bisa berlanjut menyebar,” kata Mike Ryan di Jenewa, Swiss, 6 Maret 2020 lalu, dilansir CNBC.

Dia sedang menanggapi pejabat AS yang mengatakan bahwa wabah Covid-19 diprediksi sama seperti virus musiman dan bakal melemah dalam kondisi yang lebih hangat.

“Adalah harapan palsu bila kita mengatakan, ‘Ya, virus itu akan lenyap seperti flu’. Kami berharap demikian. Itu akan menjadi anugerah Tuhan. Tapi kita tidak bisa membuat asumsi seperti itu, dan tidak ada buktinya,” Ryan.

Hingga hari ini, belum ada yang berani menyimpulkan bahwa ‘Covid-19 bakal mati bila kena panas mentari dan cuaca lembap’ atau ‘Covid-19 tidak akan mati oleh panas mentara dan cuaca lembap’. Sains memang tidak bisa disimplifikasi sehitam-putih hoaks dan bukan hoaks. Sejauh ini, kesimpulan yang paling berani adalah kesimpulan dari WHO, yang menyatakan bahwa ‘Covid-19 tidak bisa menular di iklim panas dan lembap’ adalah mitos.

Kajian di Indonesia

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan dari kajian sejumlah ahli menyebut terdapat pengaruh cuaca dan iklim terhadap tumbuh kembang virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Rita dalam siaran pers yang diterima Antaranews di Jakarta, Sabtu (4/4/2020), mengatakan BMKG mengkaji variabel tumbuh kembang virus corona dengan cuaca dan iklim bersama 11 doktor meteorologi, klimatologi, matematik beserta ilmuwan kedokteran, mikrobiologi, kesehatan dan pakar lainnya.
Kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran Covid-19.

Hasil kajian, kata dia, menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19 sebagaimana disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al. (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020) dan Wang et. al. (2020).

“Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis,” kata dia.

Optimum Menyebar pada  Suhu Rendah

Kemudian, lanjut dia, penelitian Chen dan Sajadi menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus SARS-CoV-2 adalah temperatur sekitar 8-10 derajat Celcius dan kelembapan 60-90 persen.

Rita mengatakan para peneliti menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur dan kelembaban relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.

Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur di atas 1 derajat Celcius dengan jumlah dugaan kasus Covid-19 per hari.

“Mereka menunjukkan bahwa bahwa Covid-19 mempunyai persebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah 1–9 derajat Celcius. Artinya semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah,” kata dia.

Perjalanan Cinta Kompol Fahrul Sudiana dari Bebizie, Angel, hingga Rica

Rendah Risiko tapi Tinggi Mobilitas Warga

Sementara itu, kata dia, Wang menjelaskan pada kondisi udara dingin dan kering dapat juga melemahkan kekebalan seseorang dan mengakibatkan orang lebih rentan terhadap virus. Araujo dan Naimi, kata Rita, melalui model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.

Iklim tropis, kata dia, membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil sehingga penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat. “Kondisi cuaca/iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah Covid-19,” katanya.

Ia mengatakan faktor penularan di Indonesia diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.

“Akhirnya laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi. Hal ini disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut,” katanya.

Untuk itu, dia merekomendasikan masyarakat yang beraktivitas agar memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti sembari tetap menjalankan protokol keselamatan sehingga tidak tertular Covid-19.

Ditulis oleh : Anik Sulistyawati

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.