Di bidang ilmu Teknik ada 4,66% mahasiswa drop out, sedangkan di bidang MIPA ada 1,3% mahasiswa putus kuliah.
JEDA.ID–Drop out (DO) alias putus kuliah menjadi salah satu momok bagi mahasiswa. Sepanjang 2018, Kemenristekdikti mencatat ada 239.498 mahasiswa drop out dengan berbagai alasan.
Mahasiswa Teknik menjadi yang paling tinggi DO, sedangkan yang paling rendah adalah bidang ilmu Matematika dan IPA (MIPA).
Kemenristekdikti mengategorikan mahasiswa drop out adalah mahasiswa yang dikeluarkan, mengundurkan diri, dan putus kuliah. Berdasarkan Statistik Pendidikan Tinggi 2018, rasio mahasiswa drop out tertinggi ada di bidang Teknik.
Tercatat 4,66% mahasiswa Teknik DO selama 2018. Di bawah Ilmu Teknik, kasus mahasiswa drop out di bidang ilmu Ekonomi 3,73% dan urutan ketiga ada bidang ilmu Seni 3,59%.
Kemudian ada bidang ilmu Humaniora dengan 3,52%, Sosial 2,86%, Pertanian 2,47%, dan Pendidikan 2,37%. Tiga bidang ilmu dengan kasus mahasiswa drop out terendah adalah Kesehatan 1,74%, Agama 1,62%, dan MIPA 1,30%.
”Mahasiswa putus kuliah didominasi oleh mahasiswa dengan jenis kelamin laki-laki, yakni sebesar 60,77%,” sebut Kemenristekdikti.
Secara umum, Kemenristekdikti mencatat persentase mahasiswa DO pada 2018 yaitu 3%. Dari sekitar 6,95 juta mahasiswa yang diakui kementerian itu, sebanyak 239.498 mahasiswa drop out.
Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia di laman Medium.com sebagaimana dikutip, Rabu (11/9/2019) menyebutkan Jaringan Kaum Muda (Jarkam) memperlihatkan data medio 2016-2018 ada sekitar kurang lebih 5.000 mahasiswa terkena sanksi DO dari kampusnya.
Beberapa alasan yang dijadikan dasar sanksi oleh kampus yang menjadi sorotan yaitu: Pertama, mahasiswa tidak mampu membayar uang kuliah, sehingga terkena DO. Kedua, DO yang diberikan kepada mahasiswa yang ‘vokal’ mengkritik kebijakan kampusnya.
Ketiga, Mahasiswa yang terkena evaluasi, tidak aktif maupun melewati masa studi. Jarkam menyoroti terkait DO yang diberikan karena tidak mampu untuk membayar uang kuliah dan mahasiswa yang kritis atas kebijakan kampusnya.
Mahasiswa DO dengan alasan tidak melunasi uang kuliah menimpa sekitar 500 mahasiswa. ”Pepatah ada uang ada barang sangat terlihat disini, alih-alih berusaha melakukan advokasi atau solusi bagi mahasiswanya yang tidak mampu membayar kuliah, kampus lebih memilih jalan pintas ‘membuang’ orang-orang tidak mampu tersebut,” sebut mereka.
Kritik Kebijakan Kampus
Jenis kasus yang kedua, yaitu DO yang menimpa mahasiswa yang melakukan kritik atas kebijakan kampus. Sedikitnya ada 74 mahasiswa yang terkena DO karena melakukan kritik kepada kampus.
”Kritik-kritik yang dilakukan mahasiswa bukannya disambut dengan perbaikan justru dijawab dengan represi oleh kampus. Kenapa kampus gampang sekali melakukan DO atau skorsing? Jawabannya tidak lain adalah tidak adanya perlindungan hukum bagi mahasiswa,” tulis mereka.
Center fot Indonesian Policy Studies (CIPS) di laman mereka menyatakan Sistem Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dalam penerimaan mahasiswa baru menguntungkan para calon mahasiswa.
Sistem ini memberikan transparansi, meningkatkan efisiensi mekanisme seleksi penerimaan calon mahasiswa dan juga meminimalisasi potensi drop out.
Peneliti CIPS Indra Krishnamurti mengatakan, dengan mengizinkan calon mahasiswa mengetahui kemampuan akademis dan skolastika, mereka dapat terbantu untuk mengenali minat dan bakat mereka.
Calon mahasiswa dapat mengambil keputusan dengan lebih baik mengenai program studi atau PTN yang akan mereka tuju. Sistem penerimaan di PTN juga akan lebih mudah dan relatif terhindar dari kecurangan karena menggunakan sistem IT.
”Peserta ujian dapat mengulang ujian hingga dua kali. Ini tentu membuka kesempatan yang lebih lebar bagi calon mahasiswa untuk bersaing dengan kemampuan terbaiknya,” sebut dia.