• Fri, 19 April 2024

Breaking News :

Kenapa Ice Tea Lebih Mahal Ketimbang Es Teh?

Kenapa ice tea lebih mahal ketimbang es teh? Kenapa salad of Java lebih mahal ketimbang nasi pecel?

JEDA.ID–Suatu kali saya bertanya pada seorang teman tentang ice tea. Sebuah pertanyaan yang serius. Sepertinya dia tidak menjawab sama seriusnya karena lebih banyak tertawa menjawab pertanyaan saya itu. “Kenapa ice tea lebih mahal ketimbang es teh?”

Toh rasanya sama saja kecuali teh itu diberi irisan jeruk nipis yang namanya berubah menjadi lemon tea. Harganya beragam, bisa Rp15.000 sampai Rp50.000 karena semua bergantung tempat, seperti di restoran kelas menengah, restoran ekslusif, kafe, atau di bandara.

Sebaliknya, saat saya minum es teh di warung hik atau warung makan pinggir jalan, olahan yang sama dengan nama yang berbeda harganya jauh lebih murah. Es teh hanya dihargai Rp2.000 sampai Rp2.500 sementara harga lemon tea yang namanya ganti es teh kampul sama saja, masih murah meriah.

Lantas kenapa harga minuman bisa sedemikian berbeda hanya gara-gara berganti nama? Kenapa ice tea lebih mahal ketimbang es teh? Ngomong-ngomong, nama saya ini Ayu. Kalau diganti beautiful begitu apa ya derajat kemanusiaan saya langsung naik?

”Ya jelas bedalah. Orang-orang tahu di warung hik harga makanan dan minuman murah semua. Kalau ada es teh dijual Rp15.000, timpuk saja penjaga hiknya sama batu. Cari masalah itu namanya,” kata teman saya tertawa lebar. Dia geleng-geleng kepala, sebuah tanda, sebuah penilaian bahwa pertanyaan saya benar-benar tidak masuk akal.

Saya lantas ingat pengalaman saat berlibur di sebuah kota kecil di ujung Provinsi Jawa Timur pada awal 2019 ini. Saat itu saya menginap di sebuah hotel dekat Ketapang. Saya menginap lewat fasilitas Tiket.com dan berhasil mendapat diskon yang nyaris setengah harga meski memang tanpa fasilitas sarapan. Karena tawaran itu murah, langsung saya ambil tanpa berpikir dua kali.

Salad of Java

Celakanya, saat kelaparan pada pagi hari dan saya malas beranjak dari tempat tidur, saya berharap bisa makan di hotel saja. Akhirnya saya mencoba mengecek daftar harga makanan di restoran hotel tersebut. Mata saya tertambat pada menu salad of Java alias nasi pecel yang harganya Rp80.000 per piring.

Harga itu adalah harga yang paling murah di antara sekian jenis menu lain itu jelas membuat mata saya berkunang-kunang. Hla saya bisa menginap di hotel ini saja karena mengandalkan fasilitas diskon. Masak ya saya harus bayar salad of Java yang harganya seperenam biaya menginap? Jelas enggak logis buat kantong saya yang sungguh tipis ini.

Jadilah untuk mengisi perut yang kelaparan saat sarapan, saya keluar dari hotel. Di pusat kota, ada nasi pecel lezat yang dibungkus daun dengan harga Rp8.000 saja. Kenyanglah perut saya. Bayangan salad of Java sudah hilang dari hasrat saya untuk selama-lamanya.

Ice tea

freepik.com

Berawal dari pengalaman itu, di puncak keisengan, saya mencoba berselancar di Google untuk mencari kasus-kasus sejenis. Hasilnya, banyak sekali yang saya dapat. Ada telur dadar yang harganya Rp3.000, namun bisa menjadi Rp25.000 saat namanya menjadi omelette. Lalu harga bakso plus sayur yang harganya Rp10.000 bisa menjadi Rp50.000 sampai Rp80.000 saat racikannya berganti nama menjadi steamboat.

Ada juga nasi goreng yang harganya hanya Rp12.000 dan menjadi Rp40.000 saat menjadi fried rice. Satai ayam Rp15.000 menjadi Rp45.000 saat menjadi chicken satay.

“Kopi hitam Rp2.500 juga jadi Rp70.000 kalau namanya jadi black coffee,” teriak suami saya yang penggemar kopi saat saya sedang mengetik tulisan ini. Jadi begitulah, dengan banyaknya contoh-contoh itu akhirnya pencarian saya berhenti, berganti menjadi lamunan untuk mendefinisikan kebodohan yang sedang saya hadapi.

William Shakespeare

Mengapa ice tea lebih mahal ketimbang es teh? Atau kenapa makanan yang namanya menggunakan bahasa asing lebih mahal, lebih eksklusif? Kalau melihat kasus-kasus ini, sepertinya ungkapan terkenal William Shakespeare, “What’s in a name?” (apalah arti sebuah nama) tidak berlaku di Indonesia. Di Tanah Air saya ini, apa pun yang baunya asing pasti lebih mahal, nama maksud saya.

Lebih serius, saya mulai berpikir apakah perbedaan harga makanan itu semata-mata karena tingkat higienitasnya, tempatnya yang tak kumuh, pilihan bumbu, atau gengsinya? Ada banyak faktor memang yang memengaruhi harga ice tea lebih mahal ketimbang es teh. Pilihan bahan dan keahlian meracik jelas memengaruhi harga makanan. Namun, yang paling besar pengaruhnya menurut saya justru pada soal gengsi.

Tokoh favorit saya untuk menjelaskan soal gengsi orang-orang modern ini masih sama, pakar kebudayaan asal Prancis, Jean Baudrillard, tentang konsumsi. Saya benar-benar meyakini pemikiran Baudrillard tentang identitas manusia yang dibentuk lewat kegiatan konsumsi.

Dalam dunia postmodern ini, kita tidak lagi bicara teori produksi Marxis kecuali sebagai pijakan pemikiran. Sudah lewat masanya. Di dunia yang jamak disebut modern ini, manusia tak lagi ditentukan dari kegiatan produksinya, melainkan kegiatan konsumsinya. Intinya aku ada karena aku belanja, bukan karena aku produktif.

Padahal yang namanya berkonsumsi di Indonesia itu kan beragam. Ada orang terbiasa membeli barang secara tunai, dibayar dua kali, dibayar secara mencicil alias utang, bahkan ada yang sekadar menyewa , misalnya pakaian dan tas branded ternama yang bisa ‘dipinjam’ per pekan hingga bulanan.

Namun, ikhwal proses pembayaran atau status kepemilikan barang di Indonesia ini selalu tenggelam, tak ada yang mau tahu. Yang terpenting, asal barang-barang tersebut melekat di tubuh kita, ya itulah identitas kita.

Instagram

Mobil pinjaman asal sudah terekam di Instagram pribadi dengan catatan jangan dikunci ya akunnya, disertai senyum cerah, sudah menaikkan status sosial kita. Mana ada orang yang begitu longgarnya hingga membuat direct message (DM) untuk sekadar bertanya tentang status mobil yang kita unggah tersebut. Tidak punya etika itu namanya. Berprasangka baik adalah pilihan yang tepat, seperti berpikir, “Ah mungkin itu mobil warisan” (padahal orang tuanya masih hidup).

Atau foto-foto nongkrong di Excelso sambil pamer gelas kopi dengan wajah menerawang untuk menunjukkan kekerenan kita meski lidah sebenarnya hanya doyan kopi hitam atau kopi susu sajian warung hik juga merupakan ‘upaya maksimal’ (mengutip judul lagunya The Rain yang paling baru) untuk menunjukkan siapa kita. Rekonstruksi palsu kehidupan yang kita bentuk sendiri dari kegiatan konsumsi.

Lantas apa hubungan antara bahasa asing dengan konsumsi? Menurut saya sangat berkaitan. Berbahasa, menurut saya, juga merupakan bentuk konsumsi dalam bentuk lain. Kalimat yang kita tampilkan secara verbal maupun kalimat tidak langsung adalah wujud konsumsi diksi. Ada alasan yang kuat kenapa kita membuat sebuah kalimat hingga memilih setiap kata yang menopang kalimat tersebut.

Seseorang dengan pendidikan rendah dan tidak terbiasa self learning alias belajar mandiri akan menunjukkan belanja kata yang sangat berbeda dengan belanja kata yang ditunjukkan orang terpelajar. Misalnya pilihan kata menabung dibandingkan investasi, bosan dengan jenuh, kebanyakan dengan jamaknya, sore dengan senja, sebenarnya dengan sejatinya, memeriksa dengan mengoreksi atau mengevaluasi, dan masih banyak lagi yang lain bisa menunjukkan karakter si pembicara.

Penggunaan bahasa asing merupakan bagian dari belanja kata yang menunjukkan sebuah hal yang sifatnya canggih, modern, dan berpendidikan. Penyakit orang Indonesia adalah menilai sesuatu yang sifatnya asing adalah yang lebih baik dan lebih canggih. Padahal inti dari modernitas adalah kecepatan dan efisiensi.

Jadi ya jangan heran melihat banyak orang menggunakan laptop Apple, tapi bingung menyimpan dokumen dan lebih kebingungan lagi saat mencari file yang sudah disimpan. “Yang penting kan Apple,” kata teman saya menyindir.

Atau jangan heran juga melihat banyak orang yang ponselnya Iphone, namun saat menghadiri sosialisasi dia mencatat di selembar kertas. Ponsel hanya dia gunakan untuk berfoto setelah acara, swafoto, atau kirim pesan lewat aplikasi Whatsapp dan mengunggah status di Facebook. “Woalah Pak,” kata seorang panitia geleng-geleng kepala saat si tamu itu bertanya sesuatu yang berkaitan dengan acara.

Bahasa Arab

Inilah asyiknya bekerja sebagai jurnalis, saya bisa melihat macam-macam makluk seperti itu. Jadi modern di mata orang Indonesia seringkali dianggap sebagai sesuatu yang canggih, sebatas gaya hidup yang sangat permukaan, bukan sarana untuk menjadikan hidup lebih efisien.

“Halah Swallow-mu juga palsu lo. Itu kan sama saja pengin keren tapi modal enggak ada,” kata suami saya yang bikin saya ingin melesak ke tanah saat itu juga. Menjelekkan orang lain tapi kok kejelekan diri sendiri tak ditulis. Itu seperti gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi diskon jauh di seberang lautan terlihat jelas sekali.

Lantas apakah gejala ini hanya dilakukan orang-orang yang tidak berpendidikan atau orang yang pengen keren tapi duitnya tipis seperti saya ini, jawabannya tidak. Contohnya, tengok saya bagaimana para akademisi atau para ahli saat berbicara di media, khususnya media televisi tentang isu terkini.

Seringkali saya dibuat pusing karena bahasa mereka yang mereka gunakan sangat gado-gado, salah satu makanan yang saya tidak suka. Separuh menggunakan bahasa Indonesia dan separuhnya lagi bahasa Inggris.

Lantas saat Ramadan tiba, bahasa mereka agak berubah, separuh bahasa Indonesia, dan seperempatnya bahasa Arap. Ya memang tidak separuh-paruh rasionya karena masyarakat kita tidak akrab dengan bahasa Arab. Hasrat kita saat ada orang yang menggunakan bahasa Arab inginnya selalu bilang “Amin”. Gawat kan?

Dengan kondisi ini, para pengusaha yang mahapintar itu tentu bisa langsung menangkap peluang bisnis. Bagi kaum yang punya duit, meski hanya di awal bulan, disediakan kafe-kafe yang menawarkan menu-menu berbahasa asing dengan fasilitas kenyamanan yang harus dibayar dengan harga mahal. Orang bilang kan prioritas milenial saat ini adalah pengalaman, investasi urusan belakang.

“Jadi sudah mengerti kan kenapa harga ice tea lebih mahal?” tanya diri saya sendiri. Saya mengangguk-anggukkan kepala. Niat saya keluar rumah untuk sekadar beli es jeruk akhirnya saya urungkan.

Saya pilih bikin sendiri es Nutrisasi di rumah. Lebih murah untuk akhir bulan seperti ini. Lagi pula, bukanlah lebih bagus kalau uangnya saya hemat untuk belanja indomie rebus di Warung Upnormal pada awal bulan nanti lalu fotonya diunggah di Instagram?

Ditulis oleh : Ayu Prawitasari

Menarik Juga

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.