Adanya gigitan dan kontak terhadap air liur anjing menjadi risiko kuat seseorang terinfeksi rabies
JEDA.ID–Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karanganyar, Jawa Tengah, mulai menutup warung yang menjual olahan daging anjing. Langkah ini akan diikuti beberapa pemerintah daerah lain. Salah satu alasan menutup warung daging anjing untuk mencegah penyakit rabies.
Di Kota Solo dan sekitarnya termasuk Karanganyar banyak penjual olahan daging anjing. Warung itu biasa disebut dengan warung rica-rica jamu, rica-rica gukguk, atau sate gukguk.
Data dari Animal Friends Jogja (AFJ) menyebut ada 12.840 anjing yang disembelih di Solo tiap bulan selama 2017. Artinya selama satu tahun 2017, ada 154.080 anjing yang dibantai untuk dikonsumsi menjadi kuliner.
”Dalam rangka mencegah penyakit yang disebabkan setelah mengonsumsi daging anjing, kami segera menindaklanjuti dengan menutup semua warung gukguk, warung [makanan dari daging] anjing di Karanganyar,” kata Bupati Karanganyar Juliyatmono sebagaimana dikutip dari Solopos.com.
Perwakilan Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI), Angelina Pane, menyebut 13.000 ekor anjing didatangkan dari Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat untuk memenuhi kebutuhan kuliner olahan anjing di Soloraya.
Bila mengacu data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jawa Timur sudah dinyatakan sebagai provinsi bebas rabies. Tidak demikian dengan Jawa Barat. Provinsi ini dinyatakan belum bebas rabies. Ada kemungkinan anjing yang didatangkan dari Jawa Barat mengidap rabies.
Ketika anjing diolah menjadi makanan, siapa sebenarnya yang paling rentan terkena rabies?
Olahan Setengah Matang
Angelina menyebut daging anjing dapat menyebabkan penyakit rabies dan penyakit zoonosis lainnya bagi yang mengonsumsinya. Salah satu olahan daging anjing yang kerap dijual di warung sate gukguk adalah menu setengah matang. Olahan setengah matang ini cukup membahayakan konsumen karena ada potensi virus penyebab rabies tidak benar-benar mati saat dimasak.
”Virus penyebab rabies tidak dapat benar-benar mati jika cara memasaknya tidak benar. Virus ini mirip flu burung. Informasinya, orang yang gemar mengonsumsi memilih dimasak setengah matang. Terlalu beresiko karena yang diserang virus ini adalah syaraf,” sebut Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Karanganyar Sumijarto pada 24 September 2014 lalu.
Namun, Wahid Fakhri Husein dari NTA Zoonosis and EIDS Control Food an Agriculture Organization (FAO) menyebut orang yang mengonsumsi daging anjing tidak memiliki risiko terinfeksi rabies asalkan cara mengolahnya benar.
”Kalau makan daging anjing olahan [yang sudah dimasak] tidak ada risiko terinfeksi rabies. Ini karena patogen [bakteri] pada anjing pasti mati [saat dimasak],” kata Fakhir dalam acara Workshop Protecting Lives and Livelihoods di Bogor, Jawa Barat, 6 Maret 2018, sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.
Namun, orang yang mengolah daging anjing yang rentan terinfeksi rabies. Adanya gigitan dan kontak terhadap air liur anjing menjadi risiko kuat seseorang terinfeksi rabies. Populasi anjing yang tidak terkontrol bisa juga membuat mudah tertular rabies.
“Yang berisiko tertular rabies itu orang yang mengolah daging anjing. Ini karena saat mengolahnya, seseorang bisa terkena air liur anjing dari mulutnya,” lanjut Fakhri.
Endemis Rabies
Kepala Seksi Advokasi Kesejahteraan Hewan di Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, Yadi C. Susanto, mengatakan pekerja yang menangani anjing mulai dari penangkapan sampai proses penyembelihan memiliki risiko terkena rabies.
Mereka bisa tergigit anjing saat proses penangkapan. Sedangkan dalam proses penyembelihan, pekerja bisa terkena air liurnya. Risiko kian tinggi bila pekerja itu berada di daerah endemis rabies.
Di Indonesia baru sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies. Sembilan provinsi itu adalah Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Papua Barat. Sisanya, 25 provinsi lain masih endemis rabies.
”Perlu edukasi bahwa daging anjing bukan hanya tidak layak untuk dikonsumsi manusia [bukan kategori pangan] tetapi juga berisiko membawa penyakit seperti E. coli, Salmonella, Kolera dan Trichinellosis,” ujar Yadi sebagaimana dikutip jeda.id dari laman kesmavet.ditjenpkh.pertanian.go.id.