JEDA.ID–Keluhan ledakan jumlah desa diutarakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di pertengahan 2012. Tujuh tahun berselang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan banyaknya desa ”hantu” yang mengejar dana desa.
Kala itu, Gamawan menyebutkan pemekaran kecamatan dan pemekaran desa terlalu besar. ”Ini mungkin karena ingin mendapatkan uang bantuan desa lebih banyak,” kata Gamawan ketika itu sebagaimana dikutip dari laman Kemendagri, Senin (4/11/2019).
Gamawan kemudian mengeluarkan Surat Edaran Mendagri tentang moratorium pemekaran desa dan kecamatan yang berlangsung sejak 13 Januari 2012 hingga Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilu 2014 dilantik pada Oktober 2014.
Tujuan moratorium adalah untuk menata dan menertibkan kembali jumlah desa, kelurahan, dan kecamatan. Masalah muncul setelah moratorium berakhir.
Kala itu, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Kemendagri, Agung Mulyana, menyebut setelah moratorium dicabut, permintaan untuk pemekaran desa bermunculan.
Jumlahnya diperkirakan mencapai 1.000-an desa. Ada beragam alasan di balik permintaan pemekaran. Mulai yang normatif, seperti kapasitas demografi dan penyelesaian konflik, hingga alasan yang mutakhir yaitu menyerap dana desa sesuai dengan skema Undang-Undang Desa.
Pertumbuhan jumlah desa sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu. Data Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri menyebutkan sebelum 1999 atau penerapan desentralisasi, jumlah desa di Indonesia mencapai 59.834 desa.
Kini data terbaru dari Kemendagri, pada 2019 ada 74.954 desa. Artinya selama sekitar 20 tahun terakhir, jumlah desa bertambah 15.120 desa atau rata-rata tiap tahun ada 756 desa baru di Indonesia.
Setelah UU Desa berlaku, sesungguhnya upaya pemekaran desa menjadi lebih sulit. Pemekaran desa harus dengan syarat yang ketat. Kala itu, Kemendagri menyebut aturan itu sengaja dipersulit agar permintaan pemekaran desa tidak membeludak setelah pemberlakuan UU Desa.
Termasuk mengeliminasi potensi konflik dalam distribusi alokasi dana desa. Usulan pembentukan desa baru harus didaftarkan terlebih dahulu ke pemerintah kabupaten.
Setelah terdaftar, calon desa harus melalui tahap ”desa persiapan” selama tiga tahun. Kemudian, pemerintah kabupaten melakukan evaluasi untuk meningkatkan kompetensi desa persiapan itu jadi desa definitif.
Bila memenuhi syarat, bupati atau wali kota mendaftarkannya ke tingkat provinsi. Di tingkat provinsi, kembali dilakukan evaluasi selama satu hingga tiga tahun, tergantung situasi dan kondisinya.
Lewat rekomendasi gubernur, Kemendagri dapat mengeluarkan nomor kodifikasi wilayah untuk desa yang bersangkutan.
Tumbuhnya dana desa dari tahun ke tahun diikuti dengan terus bertambahnya desa. Pada 2015 misalnya saat dana desa dianggarkan Rp20 triliun, jumlah desa mencapai 74.093 desa.
Pada 2016, jumlah dana desa naik menjadi Rp40 triliun, jumlah desa bertambah menjadi 74.754 desa. Bambang Brodjonegoro yang pada 2015 menjadi Menteri Keuangan sudah mewanti-wanti agar pemerintah daerah tidak mudah memberi restu pemekaran desa.
Pemerintah khawatir jika pemekaran desa tersebut bukan dilakukan atas dasar urgensi, melainkan hanya untuk mendapatkan dana desa.
Kemudian pada 2017, dalam APBN disebutkan jumlah desa yang menerima dana desa menjadi 74.954 desa atau rata-rata akan mendapaikan Rp800 juta/desa dari total Rp60 triliun.
Pada 2019, jumlah desa sedikit terkendali karena hanya bertambah 3 desa. Pada 2019, anggaran dana desa Rp70 triliun untuk 74.597 desa. Artinya rata-rata tiap desa menerima sekitar Rp900 juta.
Data jumlah desa sebanyak 74.597 desa itu mengacu kepada data Kemendagri dan Kementeria Desa PDTT. Data berbeda disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS). BPS dalam Potensi Desa 2018 mencatat jumlah desa di Indonesia mencapai 75.436 desa.
Perbedaan jumlah desa antara data Kemendagri dan BPS ini pernah dipersoalkan DPR pada 2018 lalu. Saat itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Achmad Hatari, menyebut selisih data desa itu hampir 1.000 desa dan hal itu bisa menjadi masalah dalam pencairan dana desa.
Sri Mulyani yang kala itu ikut hadir mengaku akan menyelidiki perbedaan data desa dari Kemendagri dan BPS. Kini dalam rapat dengan DPR, Sri Mulyani melontarkan adanya dugaan desa ”hantu” atau desa fiktif yang hanya mengejar dana desa.
”Sekarang muncul desa-desa baru yang enggak ada penduduknya karena adanya dana desa,” kata Sri Mulyani saat rapat dengan Komisi IX DPR, Senin (4/11/2019).
Dia mengatakan akan menindaklanjuti temuan desa fiktif yang belakangan telah menerima anggaran dana desa dari pemerintah. ”Kami mendengarnya sesudah pembentukan kabinet dan nanti akan kami investigasi,” kata Sri Mulyani sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.
Kemenkeu bersama Kemendagri akan mengembangkan temuan desa-desa tersebut. Sebab, kehadiran desa fiktif itu membuat dana transfer ke daerah yang dilakukan pemerintah pusat selama ini menjadi tidak tepat sasaran.
Dilansir dari Gatra, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko yang dulu terlibat dalam penyusunan UU Desa menyebutkan tanpa latar belakang dan argumentasi yang relevan, sebaiknya pemekaran desa dibatasi demi optimalisasi dampak kesejahteraan dana desa bagi masyarakat.
Dia pun meyakini ada fenomena lahirnya desa-desa “hantu” oleh oknum-oknum yang mencari keuntungan pribadi dari kucuran dana desa meski jumlahnya tidak terlalu banyak.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…