JEDA.ID – Di antara sederet kasus kriminal yang terjadi di Jepang, tragedi “Penikaman Sagamihara” terbilang paling menyayat hati. Kasus ini bahkan disebut yang terburuk dalam sejarah Jepang setelah Perang Dunia II.
Satoshi Uematsu adalah pria berusia 26 tahun dan mantan karyawan pada Tsukui Yamayuri En. Satoshi didakwa dalam kasus penikaman massal pada 26 Juli 2016 di sebuah rumah perawatan disabilitas di Sagamihara, Prefektur Kanagawa, Jepang.
Sedikitnya 19 orang tewas dan 26 orang terluka, tiga belas dalam keadaan parah, dalam insiden itu. Satoshi tidak menyangkal dakwaan itu dan mengaku tidak bersalah atas perbuatan tersebut.
Satoshi melalu pengacaranya, dikutip dari Kyodo News, Rabu (8/1/2019), menyalahkan narkoba sebagai pemicu pembunuhan itu. “Dia menyalahgunakan ganja dan menderita penyakit mental. Dia menjadi orang yang berbeda [setelah mengisap ganja] dan akibatnya, insiden ini terjadi,” kata pengacaranya.
Satoshi menyebut keadaan tersebut membuatnya lepas dari tanggung jawab. “[Satoshi] tidak memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab,” dalih pengacaranya.
Polisi mendapat laporan telah terjadi penyerangan di Tsukui Yamayuri Garden pada 2:30 pagi waktu setempat. Seorang pria bersenjata pisau telah memasuki gedung dan menusuki banyak orang.
Tsukui Yamayuri merupakan sebuah pusat perawatan. Didirikan oleh pemerintah lokal, fasilitas dibangun pada sebuah lahan seluas 7,6 are di tepi Sungai Sagami. Hingga akhir April 2016, fasilitas ini menampung 149 orang dalam rentang usia 19 hingga 75 tahun yang menderita berbagai disabilitas, termasuk fisik dan mental.
Mendapat laporan, Polisi bersenjata merespons dengan memasuki gedung tersebut sekitar pukul 3:00 pagi. Setidaknya 29 truk pemadam kebakaran dikirim ke fasilitas tersebut.
Penyerang diduga menggunakan palu untuk menerobos ke dalam gedung, mulai menusuk penghuni, dan mengikat karyawan serta mengambil kunci mereka.
Tanpa perlawanan, pria yang diketahui Satoshi Uematsu itu menyerahkan diri ke Stasiun Polisi Tsukui 2 jam setelah kejadian. Sebuah pisau telah ditemukan dalam mobilnya yang berada di luar stasiun polisi.
Satoshi Uematsu merupakan seorang pria berusia 26 tahun dan mantan karyawan pada Tsukui Yamayuri En.
Ia berhenti bekerja pada fasilitas tersebut pada bulan Februari 2016. Pada bulan yang sama, Satoshi memperlihatkan sebuah surat kepada Otoritas Hukum di Jepang dan merekomendasikan eutanasia pada orang-orang penyandang disabilitas.
Dalam surat itu, Satoshi mendeskripsikan rencana penyerangannya, dilakukan malam hari ketika hanya sedikit staf yang berjaga. Ia juga menulis bakal menyerahkan diri ke polisi, dan meminta setelah dipenjara selama “dua tahun” ia akan diberi identitas baru, termasuk operasi plastik untuk menyamarkan wajahnya.
Satoshi mengatakan, dengan membunuh korbannya, ia bakal menstimulasi perekonomian di dunia, bahkan mencegah Perang Dunia III. “Sekarang waktunya untuk melakukan revolusi, membuat keputusan yang sulit namun tak terelakkan demi seluruh umat manusia,” tulis Satoshi.
Setelah berusaha memberikan surat itu, Satoshi dibawa ke rumah sakit, untuk menjalani perawatan psikologis, namun ia dibolehkan pulang dua pekan kemudian pada 2 Maret 2016.
Yoshihide Suga, Ketua Kabinet Sekretaris Jepang, mengakui bahwa serangan tersebut merupakan sebuah insiden yang sangat menyayat hati dan mengejutkan di mana banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban.
Ia juga menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang akan melakukan penyelidikan agar kejadian yang sama tidak terulang lagi.
Sinetron Paling “Brutal” dalam Sejarah Pertelevisian Indonesia
Sesaat setelah insiden, dilansir Japan Times, Satoshi dilaporkan mengakui membasmi semua penyandang disabilitas mental di tempatnya bekerja. Dia menyerahkan diri ke polisi dengan membawa pisau berlumuran darah.
Sebelum melakukan aksinya, Satoshi dirawat di rumah sakit karena memberi tahu rekan-rekannya bahwa dia bermaksud membunuh penyandang disabilitas di tempat dia bekerja.
Namun dia hanya dirawat 12 hari, setelah seorang dokter menyatakan Satoshi bukan ancaman.
Satoshi juga menulis surat yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas mental hanya menciptakan ketidakbahagiaan.
Sejak penangkapannya, pria 29 tahun itu tidak menunjukkan penyesalan. Dalam sebuah wawancara dengan media Jepang, Satoshi mengatakan bahwa mereka yang memiliki disabilitas mental tidak punya hati, dan tidak ada gunanya mereka hidup.
“Saya harus melakukannya demi masyarakat,” kata Satoshi mengenai serangannya.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…