JEDA.ID--Ketika warga seluruh dunia dihimbau untuk tinggal di dalam rumah, Jennifer Aniston merasa bukan tantangan yang sulit karena dia ternyata mengidap agorafobia. Sudah 3 pekan lamanya, ia mendekam di dalam rumah demi mencegah persebaran Covid-19.
Aktris berusia 51 tahun itu tampil dalam episode Jimmy Kimmel Live!dan kondisinya saat ini baik-baik saja. Kimmel pun bertanya pada mantan istri Brad Pitt, kapan terakhir ia meninggalkan rumah.
“Sekitar tiga minggu yang lalu,” ujar Jennifer Aniston, dilansir dari berbagai sumber, Minggu (5/4/2020).
Jennifer mengatakan ia terlahir dengan mengidap Agorafobia atau fobia dengan perasaan berada di tempat umum. Sejak kecil, ia sudah mengetahui mengidap Agorafobia.
“Ini seperti mimpi, jelas mimpi burk. Tapi saya pribadi merasa, ini [karantina diri] bukan tantangan besar,” katanya.
“Yang paling menantang adalah menonton berita dan mencoba mencerna segala hal yang terjadi di luar sana. Saya mengizinkan diri untuk check-in informasi di pagi hari, lalu melakukannya lagi di malam hari,” sambungnya.
Seperti dilansir alodokter, agorafobia adalah salah satu jenis gangguan cemas pada manusia, di mana penderitanya merasa ketakutan yang berlebih dan menghindari tempat atau situasi yang menimbulkan rasa panik dan membuatnya malu, terjebak, atau tidak berdaya.
Situasi-situasi tersebut antara lain, saat menggunakan transportasi massa, dalam keramaian, atau sedang antre. Tempat terbuka seperti jembatan dan tempat parkir, serta ruang tertutup seperti toko dan bioskop juga membuat penderita agorafobia merasa khawatir. Kebanyakan gangguan agorafobia ini berkembang setelah penderitanya mengalami satu atau lebih serangan panik.
Jika terpaksa ke tempat umum, penderita agorafobia merasa perlu untuk ditemani oleh orang yang mereka percayai, seperti anggota keluarga atau teman dekat, karena mereka tidak merasa aman.
Pengaruh Cuaca pada Persebaran Virus Corona di Antara Kajian dan Mitos
Gejala yang dirasakan penderita agorafobia dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Gejala fisik, biasanya hanya muncul ketika penderita dalam situasi atau lingkungan yang memicu rasa cemas. Gejala fisik agoraphobia, antara lain adalah detak jantung dan napas menjadi cepat, merasa panas dan berkeringat, merasa tidak sehat, nyeri dada, kesulitan menelan, diare, gemetar, pusing, tinnitus, dan merasa ingin pingsan.
Gejala kognitif, yaitu perasaan atau pikiran penderita yang dapat berhubungan dengan gejala fisiknya. Beberapa gejala kognitif agorafobia, antara lain adalah perasaan takut bahwa serangan panik yang dialami akan mengancam nyawa dan membuatnya terlihat seperti orang bodoh.
Bila terjadi serangan panik, penderita merasa bahwa dia tidak dapat kabur dari situasi tersebut. Penderita juga merasa takut akan kehilangan kewarasan, kontrol diri, dan menjadi pusat perhatian orang sekelilingnya.
Gejala perilaku, misalnya menghindari situasi yang rawan menimbulkan serangan panik, seperti berada di dalam transportasi umum, antrean, atau dalam keramaian. Penderita juga menghindar untuk keluar rumah atau tidak dapat meninggalkan rumah untuk waktu lama, dan membutuhkan orang yang dipercaya untuk menemaninya pergi ke mana pun.
Sampai saat ini, penyebab pasti agorafobia masih belum ditemukan. Agoraphobia umumnya berkembang sebagai komplikasi dari serangan panik. Hal ini akibat cara menghindar dan ketakutan yang berlebihan terhadap serangan panik. Faktor biologis (kondisi kesehatan dan keturunan), sifat dan perilaku, tekanan lingkungan, serta pengalaman hidup turut berperan dalam berkembangnya agorafobia.
Beberapa faktor lain selain gangguan panik yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena agoraphobia adalah:
Usia. Agorafobia dapat mulai dirasakan ketika masih anak-anak, namun umumnya baru dirasakan saat seseorang memasuki fase peralihan dari remaja ke dewasa. Biasanya sebelum mencapai usia 35 tahun.
Menderita fobia. Selain gangguan panik, agorafobia dapat dipicu oleh ketakutan yang berlebihan (fobia) terhadap sesuatu.
Pernah mengalami kejadian traumatis, seperti penyiksaan atau kematian keluarga.
Memiliki sifat mudah cemas dan gugup.
Memiliki anggota keluarga yang menderita agoraphobia.
Pengobatan dan Pencegahan Agorafobia
Rapid Test Sensing Self, Beredar di Luar Negeri Belum Diakui RI
Psikoterapi. Penderita akan dibantu oleh psikolog atau psikiater untuk belajar mengurangi gejala-gejala kecemasan. Contoh terapi yang dapat dilakukan adalah terapi perilaku kognitif dan terapi eksposur.
Konsumsi obat-obatan. Dokter juga akan meresepkan obat antidepresan atau obat antiansietas untuk meredakan gejala kecemasan.
Tidak ada langkah pasti untuk mencegah agorafobia. Akan tetapi, kecemasan cenderung akan meningkat jika penderita menghindari situasi yang ditakutinya.
Bagi pengidap agorafobia, dimbau berlatih untuk mengatasi dan mengendalikan rasa takut akan suatu tempat. Ajaklah anggota keluarga atau teman untuk pergi bersama ke tempat yang ditakuti.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…