JEDA.ID–Tak lama lagi, kelas peserta program jaminan kesehatan nasional (JKN) BPJS Kesehatan bakal ditiadakan. Nantinya, sistem kelas 1, 2, dan 3 untuk peserta mandiri dihapus dan tergabung menjadi hanya satu kelas saja yang disebut kelas tunggal atau kelas standar JKN.
Adapun yang dimaksud kelas standar JKN adalah meniadakan pembagian kelas peserta mandiri yang selama ini berlaku. Tujuannya, agar nantinya setiap peserta BPJS Kesehatan bisa menikmati layanan kesehatan yang sama dan tidak dibedakan lagi berdasarkan kemampuan ekonomi peserta tersebut.
“Yang dimaksud kelas tunggal tidak ada lagi kelas peserta di kelas 1, 2 dan 3. Jadi hanya ada kelas JKN. Manfaat secara medis dan nonmedis akan sama semua, tidak ada perbedaan antar peserta,” ungkap Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqien kepada detikcom, Rabu (20/5/2020).
Pengadaan kelas tunggal atau kelas standar JKN ini digenjot sebagai upaya untuk menerapkan kembali prinsip ekuitas. Hal ini tertuang dalam amanat Undang-Undang (UU) No.40 Tahun 2014 Pasal 23 Ayat (4).
Tak Perlu Galau, Begini Tips Atur Keuangan Bila Tak Dapat THR
Pihaknya memastikan bahwa konsep kelas tunggal atau standar JKN ini akan disusun dengan tetap memperhatikan kualitas layanan kesehatan dan keterjangkauan pesertanya.
“Konsep Kelas standar JKN yang akan disusun tetap memperhatikan kualitas dan affordability dari peserta,” sambungnya.
Apabila ada peserta yang ingin mendapatkan layanan kesehatan yang lebih tinggi lagi, peserta bisa mengikuti asuransi kesehatan tambahan.
“Atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan tersebut,” imbuhnya.
Rencananya penghapusan kartu peserta ini dilakukan secara bertahap mulai dari 2021-2022 mendatang sambil menunggu kesiapan RS. Setelah itu, barulah kelas tunggal benar-benar bisa diterapkan seutuhnya pada 2024 mendatang.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali digugat ke Mahkamah Agung (MA) karena menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Gugatan itu diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
KCPDI merupakan pihak yang sebelumnya menggugat kenaikan BPJS lewat Perpres Nomor 75/2019. MA memenangi gugatan KCPDI dan mengembalikan iuran BPJS Kesehatan ke tarif semula.
Dengan mengajukan kembali gugatan ke MA, apakah gugatan komunitas ini kembali diwujudkan MA?
Sebelum jauh ke sana, simak dulu perjalanan naik turun iuran BPJS Kesehatan.
Dari rangkuman detikcom, Rabu (20/5/2020), keputusan menaikkan iuran awalnya tertuang pada Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam aturan ini pemerintah menaikkan iuran hingga dua kali lipat di semua kelas mandiri maupun peserta penerima bantuan iuran (PBI).
Bahar Smith Punya Pelat Mobil Nyentrik, Ini Cara Bikin dan Tarif Bikinnya
Pada saat itu, pemerintah menetapkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) mencapai Rp 160.000 per orang per bulan di kelas I.
Angka ini naik 100% jika dibandingkan iuran sebelumnya sebesar Rp 81.000 per orang per bulan. Untuk kelas II naik 115% menjadi Rp 110.000 per orang per bulan dari yang sebelumnya Rp 51.000 per orang per bulan.
Sedangkan untuk kelas III naik 64,70% menjadi Rp 42.000 per orang per bulan dari yang sebelumnya hanya Rp 25.500 per orang per bulan.
Iuran kelas III peserta mandiri ini besarannya sama dengan yang dibayarkan pemerintah untuk peserta PBI yang jumlahnya sekitar 133,5 juta orang. Jumlah ini berasal dari pemerintah pusat sebanyak 96,5 juta orang dan daerah sebanyak 37 juta orang.
Iuran ini rencananya berlaku pada 1 Januari 2020. Namun tidak lama implementasinya ada yang menggugat Perpres 75 Tahun 2019 ke MA, mereka adalah KPCDI.
Hasilnya MA membatalkan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan dan besaran iuran yang berlaku mengacu pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Akhirnya iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas kembali ke aturan sebelumnya, yaitu untuk kelas I sebesar Rp 81.000 per orang per bulan, kelas II Rp 51.000 per orang per bulan, kelas III Rp 25.500 per orang per bulan.
Keputusan MA yang membatalkan penyesuaian itu terjadi pada awal Maret 2020 yang tertuang pada Putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020. Dalam putusan itu pemerintah juga diberikan waktu selama 90 hari ke depan untuk menganulir penyesuaian iuran yang sudah dilakukan sejak awal tahun 2020.
Selama masa penyesuaian, peserta yang sudah membayarkan iuran sesuai dengan keputusan Perpres 75 Tahun 2019 pun akan disimpan kelebihannya dan dimasukkan pada pembayaran iuran bulan selanjutnya.
Setelah resmi menjalankan putusan MA, belum lama ini pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan. Keputusan itu tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kali ini besaran kenaikan iurannya hanya sekitar 85,18% sampai 96,07%.
Dalam beleid ini, iuran untuk kelas I peserta mandiri atau PBPU dan BP menjadi Rp 150.000 per orang per bulan atau naik 85,18%, kelas II menjadi Rp 100.000 per orang per bulan atau naik 96,07%, sedangkan kelas III menjadi Rp 42.000 per orang per bulan atau naik 64,70%.
Keputusan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan ini pun menuai pro kontra, apalagi momennya di saat pandemi Corona. Banyak kondisi ekonomi masyarakat terdampak, sehingga kenaikan iuran dinilai menambah beban masyarakat saja.
Tidak berselang lama, KPCDI pun kembali mengajukan gugatan kepada MA terkait keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
“Setelah kami melakukan kontemplasi untuk menemukan pencerahan bagi kepentingan KPCDI pada khususnya dan Rakyat Indonesia pada umumnya akhirnya kami harus kembali mendaftarkan hak uji materiil Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke MA, Jakpus pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2020,” kata kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa, dalam keterangan tertulis, Rabu (20/5/2020).
Dia menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan Jilid II ini tidak mempunyai empati di tengah kesulitan warga saat pandemi Corona. Menurutnya, kenaikan tersebut juga tidak sesuai dengan apa yang dimaknai dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS..
Selain itu, KPCDI akan menguji apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sudah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat di tengah pandemi virus Corona.
Rusdianto juga mengingatkan pemerintah yang seharusnya mendengarkan pendapat MA bahwa akar masalah yang terabaikan, yaitu manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…