JEDA.ID–Tukang gigi meradang gara-gara rancangan undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan RUU KUHP. Padahal ada pasal dalam RUU itu yang bisa membuat mereka dipidana.
Mereka pun memilih turun ke jalan menolak RUU KUHP atau RKUHP khususnya Pasal 276 ayat (2) RUU KUHP. Ratusan tukang gigi di Jawa Barat yang tergabung dalam Serikat Tukang Gigi Indonesia berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kamis (26/9/2019).
Mereka menyebut Pasal 276 ayat (2) RUU KUHP rawan membuat mereka dikriminalisasi. Ancaman hukuman yang mengintai bagi pekerja di bidang gigi adalah 5 tahun.
Pasal itu menyebutkan,”Setiap orang yang menjalankan pekerjaan menyerupai dokter atau dokter gigi sebagai mata pencaharian baik khusus maupun sambilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 [lima] tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.”
Kuasa hukum Serikat Tukang Gigi Indonesia Wilayah Jawa Barat Acong Latif menyatakan RUU KHUP, khususnya Pasal 276 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 karena menyangkut mata pencaharian para tukang gigi yang secara hukum diakui negara.
“Kalau produk hukumnya kan tidak langsung mengatakan tukang gigi. Tapi yang menyerupai atau alat dokter dan tukang gigi. Sekarang gini, dari profesi lain [selain dokter gigi] yang menyerupai siapa? Ya, tukang gigi,” kata dia.
Ketua Serikat Tukang Gigi Indonesia Wilayah Jabar Moch. Jufri menyatakan pasal tersebut tidak mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
”Putusan MK Nomor 40/PUU-X Tahun 2012 menyatakan bahwa tukang gigi tidak melanggar undang-undang,” kata Jufri sebagaimana dikutip dari Antara.
Jupri merasa dibohongi oleh DPR karena sekitar 6.500 anggota di Jawa Barat yang tergabung dalam organisasi itu tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHP tersebut.
”Kami akan usut tuntas siapa oknum yang membuat RUU KUHP ini tanpa dilibatkan, tanpa mengundang kami sebagai wadah tunggal aspirasi kami yang diakui oleh negara. Kami merasa kecolongan dan dibohongi oleh wakil rakyat,” kata dia.
Pada 2012 lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan aturan tentang pencabutan izin praktik tukang gigi. Setelah itu, ada putusan MK yang tetap memperbolehkan mereka berpraktik.
”Nah sekarang malah muncul lagi larangan kepada kami di Revisi UU KUHP dan sekarang kami bisa penjara lima tahun dan bayar denda Rp500 juta,” kata dia.
Pada 15 Januari 2013, MK membatalkan larangan berpraktik tukang gigi sepanjang telah mengantongi izin pemerintah.
”Seharusnya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan saling bersinergi dan mendukung satu sama lain dalam upaya meningkatkan kesehatan khususnya kesehatan gigi masyarakat,” kata Ketua MK Mahfud Md. kala itu sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Setelah itu, Kemenkes mengeluarkan aturan baru pada 2014. Sebagaimana dikutip dari laman Kemenkes, ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 39/2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan Pekerjaan Tukang Gigi.
Kemenkes menyebut salah satu permasalahan yang muncul adalah terjadinya infeksi karena pemasangan gigi secara permanen. Infeksi yang terjadi di antaranya abses leher dalam yang diakibatkan dari kesalahan pemasangan gigi palsu.
Dalam Pasal 6 Permenkes 34/2014 disebutkan pekerjaan “ahli gigi” hanya membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan dengan tidak menutupi sisa akar gigi.
”Maka, tukang gigi dilarang melakukan pekerjaan di luar pekerjaan yang telah ditentukan. Dalam banyak kasus, ada yang melakukan pekerjaan di luar ketentuan tersebut seperti pencabutan gigi dan pemasangan kawat,” sebagaimana tertulis di laman itu.
Kemenkes menyebut masyarakat banyak memilih “ahli gigi” daripada dokter gigi di puskesmas atau rumah sakit karena harga lebih murah.
Harga gigi palsu di dokter gigi berbahan fleksi sekitar Rp1 juta, berbahan akrilik sekira Rp600.000. Sementara itu di tempat praktik pekerja di bidang gigi, gigi palsu dipatok sekira Rp200.000/gigi atau ada yang mematokRp1 juta/set gigi.
”Selain itu, terkait pemasangan kawat gigi, harus melalui proses rontgen gigi terlebih dahulu kemudian pencetakan struktur gigi, pencabutan gigi, dan pemasangan kawat. Setelah itu diperlukan penggantian karet mulai dari 2 minggu sekali,” sebut Kemenkes.
Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dipotret mengenai perilaku masyarakat dalam berobat saat mengalami masalah/sakit gigi. Mayoritas masyarakat yaitu 42,2% melakukan pengobatan sendiri.
Kemudian 13,9% datang ke dokter gigi, 5,2% ke dokter umum, 2,9% ke perawat gigi, 2,4% ke dokter gigi spesialis. Tukang gigi menjadi alternatif terakhir yaitu 1,3%.
Masalah gigi yang paling sering dihadapi masyarakat adalah gigi rusak/berlubang/sakit yaitu 45,3%. Setelah itu, 19% gigi hilang/tanggal, ada 10,4% gigi goyah, dan 4,1% gigi ditambal.
Saat menghadapi masalah sakit gigi dan gusi, tindakan yang paling banyak dilakukan adalah minum obat sendiri yaitu 52,9%. Sisanya, pencabutan gigi 7,9%, konseling 6,7%, penambalan 4,3%, dan bedah mulut 0,3%.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…