JEDA.ID–Ada cerita panjang tentang batik di Kota Solo hingga kota ini kerap disebut sebagai salah satu surganya batik di Indonesia. Kauman dan Laweyan menjadi jantung perbatikan di Solo, kemudian muncul Pasar Klewer dan yang kekinian ada Pusat Grosir Solo (PGS).
Empat tempat ini sama-sama menjadikan batik sebagai komoditas utama. Secara letak, Kampung Batik Kauman, Pasar Klewer, dan PGS, lokasinya berdekatan. Sedangkan letak Kampung Batik Laweyan, dekat dengan Stasiun Purwosari, Solo.
Layaknya tempat wisata, empat sentra batik ini wajib dikunjungi oleh turis lokal dan mancanegara saat berkunjung di Solo. Bahkan, empat sentra batik ini sudah jadi ikon wisata Kota Solo.
Kawasan Kauman terletak di dekat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Masjid Agung. Kampung Batik Kauman dikelilingi oleh Jl. Rajiman, Jl. Nonongan, serta Jl. Slamet Riyadi.
Jika menyusuri lorong sempit kampung ini akan ditemui banyak bangunan lawas. Ada kisah sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya Kampung Batik Kauman. Mulanya, Paku Buwono III membangun kawasan Kauman berbarengan dengan Masjid Agung Keraton.
Kala itu, kawasan Kauman dijadikan pemukiman abdi dalem keraton. Membatik adalah cara abdi dalem untuk mempertahankan tradisi. Kauman mulai berubah jadi kampung batik saat pihak keraton memberikan titah. Para pembatik dari abdi dalem diminta untuk tinggal di kawasan Kauman.
Lokasinya yang berdekatan dengan Keraton Solo mempermudah penyaluran batik ke keraton. Sejak saat itu, pengusaha batik mulai bermunculan di daerah Kauman.
Batik Kauman memiliki ciri khas yakni perpaduan warna yang cenderung gelap. Warnanya didominasi hitam serta cokelat. Menapaki gang sempit di kawasan ini, akan dijumpai banyak gerai batik berjejer. Salah satunya gerai batik milik Gunawan Setiawan.
Bangunan gerai batik ini warnanya senada dengan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Gerai ini tergolong luas, interiornya pun terlihat sangat klasik. Gunawan Setiawan adalah generasi ketiga yang menjalankan bisnis batik ini. Ia mengatakan jika usaha ini sudah diwariskan secara turun temurun.
”Kalau dari segi bisnisnya, saya adalah generasi ketiga. Tapi untuk usaha batiknya sudah diwariskan secara turun temurun,” katanya kepada jeda.id, Jumat (25/10/2019).
Menurutnya, faktor lokasi yang strategis membuat Kampung Batik Kauman ramai dikunjungi pelancong yang datang ke Solo. ”Kawasan Kauman kan dekat dengan Keraton Surakarta sama Masjid Agung. Selain itu, sekitar sini [Kauman] juga banyak homestay, seperti Mama Homestay. Makanya banyak turis yang datang ke sini untuk beli batik,” jelas dia.
Walau dulunya Kauman adalah pemukiman bagi para abdi dalem keraton. Kini, pengusaha batik di kawasan ini tidak hanya keturunan abdi dalem.
Batik Kauman terbagi jadi tiga jenis, yakni batik tulis, modern cap, serta kombinasi (perpaduan batik tulis dan cap). Menurut Gunawan Setiawan, batik tulis bermotif keraton jadi ciri khas batik Kauman. Sedangkan, batik modern cap adalah bentuk adaptasi dari para pengusaha.
”Kalau batik tulis khususnya motif keraton, jadi ciri khas batik Kauman. Lalu untuk batik modern cap, itu sebagai bentuk adaptasi serta kemampuan dari pengusaha,” jelasnya.
Selama ini orang menganggap harga batik tulis sangatlah mahal. Gunawan Setiawan membeberkan alasan di balik mahalnya harga batik tulis di pasaran.
”Prosesnya lama. Bukan karena bahan atau kualitasnya. Dalam pembuatan satu kain batik tulis bisa memakan waktu tiga hingga empat bulan,” ujarnya.
Selain proses, harga produksi batik tulis yang tergolong tinggi juga memengaruhi mahalnya batik tulis. Di balik pembuatan batik tulis juga ada pemberdayaan sumber daya manusia serta pelestarian budaya.
Jika dibandingkan dengan pembuatan batik modern cap, estimasi waktu yang dibutuhkan tak terlalu lama. Maka tak mengherankan, jika selisih harga batik tulis dengan modern cap tergolong jauh. Di gerainya, Gunawan Setiawan mematok harga Rp400.000 hingga Rp1,5 juta.
Jika warna batik Kauman cenderung gelap, beda halnya di Laweyan, Solo. Warna batik Laweyan cenderung cerah dan warna-warni. Berbeda dengan batik motif keraton milik Kauman. Batik Laweyan belum punya motif khas. Muncul wacana akan pembuatan motif batik khas Laweyan.
Jeda.id mewawancarai Muhammad Tofan Wicaksono. Dia adalah anak kedua dari Alfa Fabella, Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Senin (28/10/2019).
”Untuk saat ini yang masih diangkat tentang sejarahnya. Tapi, ada gagasan untuk membuat motif batik kombinasi. Jadi nanti motifnya perpaduan kontemporer sama tradisional,” jelas pria yang akrab disapa Tofan.
Ia menjelaskan pada 1943 hingga 1970, motif batik Tirto Tejo banyak digunakan di Laweyan. Namun, penggunaan batik ini terbatas untuk acara formal.
Menjelajahi Kampung Batik Laweyan membuat wisatawan kagum akan gaya bangunan lawas. Kampung ini sudah hadir sejak 1546, zaman Kerajaan Pajang masih berkuasa.
Kala itu, membatik adalah mata pencaharian utama masyarakat Laweyan. Minimnya teknologi jadi alasan batik tulis mudah ditemukan saat itu. Era 1900-an, batik kampung Laweyan mulai berjaya.
Pada era ini, berdirilah Serikat Dagang Islam (SDI) sebagai wadah pengusaha batik pribumi. Anggota SDI berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kala itu, tujuan pendirian SDI adalah melindungi pedagang pribumi dari penguasa Hindia Belanda, serta kompetitor China.
Seiring berjalannya waktu, kejayaan batik Laweyan mulai surut pada 1970-an. Pasalnya, muncul teknologi batik printing dari China. Tenarnya teknologi tersebut, mematikan para pedagang lokal. Berlebihnya hasil produksi batik printing, jadi tanda surutnya bisnis ini.
Mulai sejak itu, produksi dan usaha batik Laweyan padam, lantaran ditinggal masyarakat. Tahun demi tahun berganti, Kampung Batik Laweyan mulai bangkit atas inisiatif pemuda setempat.
Salah satunya Alfa Fabella. Pada 25 September 2004, ia menginisiasi terbentuknya Kampung Batik Laweyan, Solo. Berbagai upaya dilakukan, salah satunya melakukan konservasi pada 30 rumah kuno di kawasan Laweyan.
Saat Jokowi memimpin Kota Solo, lingkungan kampung mulai ditata rapi. Banyak cara dilakukan, untuk menciptakan Kampung Laweyan sebagai wisata sejarah khas Solo.
Kini, banyak pengusaha batik di kawasan Laweyan. Jarak toko yang cukup jauh membuat persaingannya tak terlalu ketat. Salah satunya gerai Mahkota Batik, milik Alfa Fabella. Letaknya di gang sempit, hanya bisa dilalui motor, sepeda, atau berjalan kaki.
Sama seperti gerai batik milik Gunawan Setiawan. Bisnis di Mahkota Batik juga diturunkan secara turun temurun. ”Memang merupakan usaha turun temurun, dari generasi pertama kakek buyut saya,” ucap Tofan.
Dalam gerai batik Mahkota, batik tulis memiliki harga Rp700.000 hingga Rp1 juta. Sedangkan untuk batik cap, harganya berkisar Rp500.000 hingga Rp900.000.
Setelah Kauman dan Laweyan jadi sentra batik di Solo, muncul kemudian Pasar Klewer. Pasar Klewer lokasinya tidak jauh dari Keraton Solo. Di balik tenarnya Pasar Klewer, ada sejarah yang melatarbelakangi berdirinya pasar ini. Pasar Klewer sudah berdiri sejak zaman pendudukan Jepang.
Kala itu, batik jadi komoditas utama para pedagang. Cara penjualannya tergolong unik, para pedagang menaruh kain batik pada pundaknya. Jika dilihat dari jauh, kain batik terlihat berkleweran (tak beraturan).
Pada 9 Juni 1970, Presiden Soeharto membangun Pasar Klewer. Setelah 44 tahun berselang tepatnya pada 2014, Pasar Klewer terbakar. Korsleting jadi penyebab terbakarnya Pasar Klewer. Kini, aktivitas perdagangan Pasar Klewer sisi barat sudah pulih.
Namun, masih ada puluhan pedagang yang menempati pasar darurat di Alun-Alun Utara. Sebabm Pasar Klewer sisi timur masih dalam tahapan perencanaan pembangunan.
Jenis batik di Pasar Klewer berbeda dengan Kauman dan Laweyan. Mayoritas jenis batik yang dijual adalah printing dan cap. ”Kalau di Pasar Klewer dominannya jenis bantik printing sama cap. Kalau batik tulis enggak jual karena harganya mahal,” jelas Sutar, pedagang di Pasar Klewer.
Dalam kios batiknya, Sutar mematok harga paling murah Rp15.000 untuk batik printing. Sedangkan, untuk harga termahal sekitar Rp100.000. Sutar menjelaskan jika mayoritas batik yang ia jual adalah batik asal Pekalongan dan Solo.
Hal serupa juga diutarakan oleh Ari, 52, pedagang batik di Pasar Darurat Klewer. Tak hanya berlangganan batik asal Pekalongan, ia juga lebih banyak menjual batik printing.
”Kalau saya jualnya lebih banyak batik Pekalongan sama Solo. Terus juga banyaknya jual yang printing, kalau batik cap lebih mahal harganya,” kata Ari.
Pasar Klewer yang menjadi pasar konfeksi terbesar di Jawa Tengah kini ditempati ribuan pedagang. Kini muncul sentra baru lainnya yaitu PGS. PGS yang lokasinya tidak jauh dari Klewer ini kerap menjadi rujukan wisata.
“Kalau Pasar Klewer lebih kulakan [beli dan dijual kembali]. Sedangkan PGS lebih ke pariwisata sih, kayak wisatawan dari Jawa Timur dan Semarang,” jelas Wahyu, pedagang batik di PGS.
Walau begitu, beberapa pedagang PGS juga menyediakan fasilitas pembelian batik secara grosir. Wahyu mematok harga Rp50.000 hingga Rp60.000 untuk batik printing di kiosnya.
Perbedaan antara Pasar Klewer dan PGS juga diamini Dewi, salah satu pekerja di kios batik PGS. Ia mengatakan jika pembelian batik di Pasar Klewer lebih banyak yang grosir.
Kiosnya tempatnya bekerja lebih banyak menjajakan batik cap, dibanding printing. Harga satu batik cap adalah Rp175.000. Sedangkan, batik printing kualitas bagus harganya dipatok Rp150.000.
Kauman, Laweyan, Pasar Klewer, hingga PGS menjadi potret bagaimana batik menghidup ribuan orang di Kota Solo. Masing-masing punya kekhasan. Dari empat tempat itulah batik di Solo menggerakkan roda ekonomi kota.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…