JEDA.ID – Hukum memperingati Maulid Nabi selalu menjadi pembahasan yang tak ada ujungnya. Setiap tahun, pertanyaan seputar boleh tidaknya memperingati Maulid Nabi selalu muncul. Perdebatan muncul lantaran adanya pandangan yang menyatakan Maulid Nabi Bidah.
Bidah telah diserap dalam bahasa Indonesia yang dalam pengertian KBBI adalah perbuatan atau cara yang tidak pernah dikatakan atau dicontohkan Rasulullah atau sahabatnya, kemudian dilakukan seolah-olah menjadi ajaran Islam.
KBBI juga mengartikan Bidah sebagai pembaruan ajaran Islam tanpa berpedoman pada Alquran dan hadis. Pengertian ketiga adalah kebohongan atau dusta.
Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah mengartikan Bidah (bid’ah) secara sederhana adalah membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy-Syathibi dalam ”Al I’tishom.
Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah: Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syariat (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap perbuatan yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perbuatan tersebut.”
Alasan paling sering dikemukakan mengapa Maulid Nabi dianggap bidah adalah karena tidak ditemukannya dalil atau riwayat langsung dari Nabi.
Selain itu tidak ada anjuran dari empat imam mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan maulid Nabi. Karena itulah sejumlah ulama Arab Saudi menganggap perayaan Maulid Nabi Bidah.
Laman Muslim.or.id mengutip pernyataan Ibnu Taimiyyah tentang ‘Ied. Dalam kitab Fathul Majid, hal. 267, Ied adalah istilah yang diambil karena berulangnya sesuatu untuk sebuah perkumpulan besar. Bisa jadi yang berulang adalah tahun, pekan, bulan, atau semisalnya.
“Maulid dapat dikategorikan sebagai hari ‘ied berdasarkan pengertian di atas karena kesesuaian sifat-sifatnya, sama-sama rutin dan sama-sama merupakan perkumpulan besar kaum muslimin,” tulis laman itu.
Ibnu Rajab dalam kitab Latho-if Al Ma’arif, hal. 228, mengatakan,
“Tidaklah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘ied kecuali yang ditetapkan oleh syari’at sebagai hari ‘ied. Hari ‘ied (yang ditetapkan syari’at) tersebut adalah ‘iedul fithri, ‘iedul adha, hari-hari tasyrik dimana ketiga ‘ied tersebut adalah ‘ied tahunan, serta hari jum’at dimana hari jum’at adalah ‘ied pekanan.”
Selain dari hari-hari ‘ied tersebut, maka menetapkan suatu hari sebagai hari ‘ied yang lain adalah kebid’ahan yang tidak ada asalnya dalam syari’at”
Lebih tegas lagi, laman ini mengutip pernyataan Imam Suyuthi dalam kitab Al Amru bil Ittiba, hal. 141, dinukil dari Ilmu Ushul Al Bida, hal. 80.
“Termasuk ke dalam perbuatan bid’ah yang mungkar adalah : menyerupai orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya mereka dan perayaan mereka yang terlaknat sebagaimana yang dilakukan banyak orang awam dari kaum muslimin yang turut serta dalam perayaan orang nasrani pada Khamis al Baydh1 dan lainnya.”
Berbeda pendapat, dai kondang Ustaz Abdul Somad, dalam ceramahnya menjelaskan terkait hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Menurutnya, ada sekitar 300.000 hadis yang menerangkan peringatan Maulid Nabi Muhammad boleh dilakukan.
“Manfaat positif peringatan Maulid Nabi Muhammad salah satunya adalah orang-orang akan bersilaturahmi satu sama lain. Bukan setahun sekali, melainkan setiap minggu di hari senin,” kata Ustaz Abdul Somad.
Ia menjelaskan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya mengapa melaksanakan puasa hari Senin. Salah satunya adalah Rasulullah ternyata mengenang hari lahirnya sendiri.
Ustaz Abdul Somad mengutip salah satu hadis HR Muslim bahwa Rasulullah SAW menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan dan hari aku dibangkitkan (atau hari itu diturunkan [Alquran] kepadaku)”.
Adapun alasan lainnya merujuk pada penafsiran Rasulullah terhadap kalimat Ayyamillah dalam Qs Ibrahim [14]: 5 yang berbunyi, “Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.”
Imam an-Nisa’i Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id al-Musnad, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Ubai bin Ka’ab meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa Rasulullah SAW menafsirkan kalimat Ayyamillah sebagai nikmat-nikmat dan karunia Allah SWT.
“Dengan demikian maka makna ayatnya adalah “Dan ingatkanlah mereka kepada nikmat-nikmat dan karunia Allah”. Dan kelahiran Muhammad SAW adalah nikmat dan karunia terbesar yang harus diingat dan disyukuri.”
Selain pendapat di atas, Ustaz Abdul Somad juga memaparkan pendapat dari Ibu Taumiah. Ibnu Taimiah yang menjelaskan bahwa mengagungkan hari lahir Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai perayaan, maka ia mendapat balasan pahala besar karena kebaikan niatnya dan pengagungannya kepada Rasulullah SAW.
Pendapat lain yang juga dijelaskan Ustaz Abdul Somad berasal dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.
“Hukum asal melaksanakan maulid adalah bid’ah, tidak terdapat dari seorangpun dari kalangan Salafushshalih dari tiga abad (pertama). Akan tetapi maulid itu juga mengandung banyak kebaikan dan sebaliknya.”
“Siapa yang dalam melaksanakannya mencari kebaikan-kebaikan dan menghindari yang tidak baik, maka maulid itu adalah bid’ah hasanah, begitulah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani,” tandas Ustaz Somad.
Ustaz Adi Hidayat juga mengungkap pendapatnya tentnag perayaan Maulid Nabi. Ustaz Adi Hidayat dalam sebuah video yang diunggah di Youtube, Desember 2017, menganggap perayaan Maulid penting untuk mengingat keteladanan Rasul.
“Selalu ada momentum untuk mengajak kita mengingat sesuatu,” katanya. “Ketika ada momentum itu [Maulid Nabi] digunakan para ulama untuk mengingatkan kembali kepada umat kepada tuntunan Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam. Maka ditulislah sirah-sirah Nabi lantas disampaikan mumpung mereka ingat.”
Momentum pengigat ini disebut Ustaz Adi Hidayat datang setiap tanggal-tanggal tertentu. “Maulid itu tidak dibatasi dengan waktu, setiap waktu itu Maulid.”
“Tapi kemudian kalau ada waktu bersamaan dengan waktu kelahiran Nabi, lalu kita hidupkan untuk mengenal Nabi. Dalam bentuk Alquran dan sunah, itu tidak ada masalah,” katanya. “Yang bermasalah itu menghadirkan sesuatu yang bertentangan dengan sunah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam.”
Ustaz Adi lantas menegaskan jika segala sesuatu yang tidak dicontohkan itu bidah, maka banyak hal yang tidak diperbolehkan. Seperti misalnya zakat menggunakan beras yang tidak ada di zaman Nabi.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…