JEDA.ID–Program omnibus law yang digulirkan pemerintah salah satunya menelurkan RUU Cipta Lapangan Kerja. RUU ini mengatur berbagai hal salah satunya hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kepala daerah termasuk bupati/wali kota dan gubernur bisa dipecat dari jabatannya bila tidak menjalankan program strategis nasional.
Sebagaimana dilansir dari Detikcom, Selasa (21/1/2020), hubungan pemerintah pusat dan daerah diatur dalam beberapa pasal dalam RUU Cipta Lapangan Kerja itu. Misanya Pasal 519 yang menyebutkan tujuh poin kewajiban kepala daerah.
1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
5. menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
6. melaksanakan program strategis nasional; dan
7. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.
Bila kepala daerah tidak melaksanakan program strategis nasional, bisa dikenai sanksi secara bertingkat. Dari yang paling ringan, yaitu sanksi administrasi, nonjob dalam waktu tertentu, hingga sanksi pemecatan.
Cerita Berulang Konflik Gubernur dengan Bupati dan Wali Kota
”Dalam hal kepala daerah dan atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat [2], tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah,” demikian bunyi pasal 520 ayat (3).
Pemecatan bupati wali kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan gubernur dipecat oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sebelum ada omnibus law ini digulirkan aturan bupati/wali kota dan gubernur dipecat sudah diatur dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Ada dua jenis pemberhentian yang bisa dilakukan terhadap kepala daerah sesuai UU ini yaitu pemberhentian sementara dan tetap. Kemudian ada dua jalur pemberhentian kepala daerah yaitu melalui usulan DPRD setempat atau langsung oleh presiden/menteri.
Dalam Pasal 83 ayat (1) disebutkan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
Disebutkan di ayat berikutnya kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa seoperti diatur dalam ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
Kemudian pemberhentian tetap diatur dalam Pasal 83 ayat (4). Disebutkan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Beda Banjir Era Batavia hingga Jakarta, Mana Paling Parah?
Tahapan berbeda bila pemberhentian kepala daerah dilakukan lewat usulan DPRD. Ini diatur dalam Pasal 79, 80, 81, dan 82 UU Pemda.
Pemberhentian melalui usulan DPRD dapat dilakukan terhadap kepala daerah yang melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, melanggar larangan, atau melakukan perbuatan tercela.
Usulan DPRD itu kemudian diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA). Lantas MA mengadili dan memutus pendapat DPRD paling lambat 30 hari. Putusan MA itu bersinal final. Baru kemudian putusan MA itu diserahkan kepada menteri untuk pemberhentian kepala daerah.
Sudah banyak contoh bupati/wali kota dan gubernur yang dipecat atau diberhentikan sementara lewat aturan dalam UU Pemda. Beberapa kepala daerah yang pernah diberhentikan sementara di antaranya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Bupati Bogor Rachmat Yasin, Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho, Wakil Wali Kota Probolinggo H.M. Suhadak, dan Bupati Klaten Sri Hartini.
Sedangkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang ketika itu ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus penodaan agama tidak diberhentikan dari jabatannya.
Aturan baru mengenai gubernur bisa dipecat mendagri dalam RUU Cipta Lapangan Kerja itu menuai beragam komentar dari gubernur. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengusulkan perlu ada kesepakatan baru mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Menurut dia, ketentuan hukum yang berlaku saat ini, pertanggungjawaban seorang kepala daerah adalah kepada rakyat. Artinya, pemerintah pusat tidak punya kewenangan memberhentikan seorang kepala daerah.
Bergaji Rp5,9 Juta, Ini 5 Bupati Terkaya di Indonesia
“Kesepakatan hari ini adalah gubernur/wali kota dipilihnya oleh rakyat. Jadi bertanggung jawabnya kepada rakyat dalam bentuk pertanggungjawaban. Bukan dipilih oleh pemerintah pusat,” kata dia sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Meski begitu, ia tak menampik kebijakan pemerintah pusat juga perlu mendapat dukungan dari daerah. Namun, dengan catatan untuk kepentingan yang lebih besar.
Sedangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan enggan memberikan komentar mengenai aturan gubnur bisa dipecat mendagri seperti tertuang dalam omnibus law itu. ”Saya enggak berpendapat. Itu kan wilayah pemerintahan pusat,” ucap Anies.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…