JEDA.ID-Hasil tes PCR bisa positif palsu. Kok bisa hasil tes PCR positif palsu, simak ulasannya di tips kesehatan kali ini ya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis memo panduan peringatan terkait risiko hasil positif palsu dari test PCR untuk Covid-19.
Memo WHO baru ini menyatakan bahwa menggunakan nilai CT yang tinggi untuk menguji keberadaan Sars-Cov-2 akan menghasilkan hasil positif palsu. Memo itu dirilis di laman resminya pada 14 Desember 2020 lalu.
Tes Sars-Cov-2 yang didasarkan pada reaksi berantai polimerase (PCR), bekerja dengan mengambil nukleotida (NAT) fragmen kecil DNA atau RNA dan menggandakannya hingga menjadi sesuatu yang cukup besar untuk diidentifikasi.
Replikasi dilakukan dalam beberapa siklus, dengan setiap siklus menggandakan jumlah materi genetik. Jumlah siklus yang diperlukan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat diidentifikasi dikenal sebagai “ambang batas siklus” atau “nilai CT”. Semakin tinggi nilai CT, semakin kecil kemungkinan Anda untuk mendeteksi sesuatu yang signifikan.
WHO menyebutkan, tujuan pemberitahuan ini untuk memastikan pengguna teknologi pengujian asam nukleat (NAT) tertentu, mengetahui aspek-aspek dari petunjuk penggunaan (IFU) untuk semua produk.
WHO sendiri menyatakan telah menerima umpan balik pengguna tentang peningkatan risiko hasil SARS-CoV-2 palsu saat menguji spesimen menggunakan reagen RT-PCR pada sistem terbuka.
“Seperti prosedur diagnostik lainnya, nilai prediksi positif dan negatif untuk produk dalam populasi pengujian tertentu penting untuk diperhatikan. Saat tingkat positif untuk SARS-CoV-2 menurun, nilai prediksi positif juga menurun. Ini berarti probabilitas seseorang yang memiliki hasil positif [terdeteksi SARS-CoV-2] benar-benar terinfeksi SARS-CoV-2 menurun seiring dengan penurunan tingkat positif, terlepas dari spesifisitas pengujian. Oleh karena itu, penyedia layanan kesehatan didorong untuk mempertimbangkan hasil pengujian bersama dengan tanda dan gejala klinis, status terkonfirmasi dari setiap kontak, dan lainnya,” papar WHO dikutip dari laman resminya dan ditulis bisnis.com, Senin (21/12/2020).
WHO juga menegaskan pengguna reagen RT-PCR harus membaca IFU dengan hati-hati untuk menentukan apakah penyesuaian manual ambang positif PCR diperlukan untuk memperhitungkan kebisingan latar belakang yang dapat menyebabkan spesimen dengan hasil nilai ambang batas siklus tinggi (Ct) diinterpretasikan sebagai hasil positif.
Prinsip rancangan RT-PCR itu berarti, bahwa untuk pasien dengan tingkat sirkulasi virus yang tinggi (viral load), siklus yang relatif sedikit diperlukan untuk mendeteksi virus sehingga nilai Ct akan rendah.
Sebaliknya, ketika spesimen mengembalikan nilai Ct yang tinggi, berarti dibutuhkan banyak siklus untuk mendeteksi virus. Dalam beberapa keadaan, perbedaan antara kebisingan latar belakang dan keberadaan sebenarnya dari virus target sulit untuk dipastikan.
Dengan demikian, IFU akan menyatakan bagaimana menafsirkan spesimen pada atau mendekati batas untuk kepositifan PCR. Dalam beberapa kasus, IFU akan menyatakan bahwa kepastian hasil harus disesuaikan secara manual untuk memastikan bahwa spesimen dengan nilai Ct tinggi tidak salah ditetapkan SARS-CoV-2 yang terdeteksi karena kebisingan latar belakang.
WHO juga mengimbau produsen secara teratur meninjau desain produk mereka, termasuk pelabelan dan IFU berdasarkan umpan balik pelanggan. Pada fase awal pandemi Covid-19, diagnostik in vitro (IVD) dikembangkan dengan cepat, divalidasi dan diverifikasi, dan kemudian diluncurkan.
“Oleh karena itu, tidak terduga bahwa IVD mungkin memerlukan penyempurnaan berdasarkan umpan balik pengguna setelah diperkenalkan dalam skala besar. Pengguna harus memverifikasi versi IFU dengan setiap pengiriman yang mereka terima untuk melihat apakah ada perubahan yang telah dilakukan pada IFU.” tambah pernyataan itu lagi.
“Harap sebarkan pemberitahuan ini kepada semua orang yang perlu waspada dalam organisasi Anda atau ke organisasi mana pun di mana produk yang berpotensi terpengaruh telah disebarkan dan digunakan,” demikian peringatan WHO.
Sementara itu, Dr Kary Mullis, yang memenangkan Hadiah Nobel untuk penemuan proses PCR, menjelaskan bahwa alat itu tidak dimaksudkan sebagai alat diagnostik,
“Jika Anda harus menjalani lebih dari 40 siklus untuk memperkuat gen salinan tunggal, ada sesuatu yang sangat salah dengan PCR Anda,” ujarnya dikutip dari Zerohedge.
Nilai Cq yang lebih tinggi dari 40 diduga karena efisiensi yang tersirat rendah dan umumnya tidak boleh dilaporkan.
Bahkan Dr Anthony Fauci secara terbuka mengakui bahwa ambang siklus di atas 35 akan mendeteksi “nukleotida mati”, bukan virus hidup.
Terlepas dari semua ini, diketahui bahwa banyak laboratorium di seluruh dunia telah menggunakan tes PCR dengan nilai CT lebih dari 35, bahkan hingga 40-an.
Berikut saran tentang tindakan yang harus diambil oleh pengguna:
1. Harap baca dengan cermat IFU secara keseluruhan.
2. Hubungi perwakilan lokal Anda jika ada aspek IFU yang tidak jelas bagi Anda.
3. Periksa IFU untuk setiap kiriman masuk guna mendeteksi perubahan apa pun pada IFU.
4. Pertimbangkan setiap hasil positif (SARS-CoV-2 terdeteksi) atau hasil negatif (SARS-CoV-2 tidak terdeteksi) dalam kombinasi dengan jenis spesimen, pengamatan klinis, riwayat pasien, dan informasi epidemiologi.
5. Berikan nilai Ct dalam laporan ke penyedia layanan kesehatan yang meminta.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…