JEDA.ID – Tim ilmuwan dunia mengambil jalan pintas yang berisiko demi bisa berpacu dengan virus corona Covid-19, yakni challenge trials, atau uji kandidat vaksin langsung kepada pasiennya.
Normalnya, tak cukup setahun untuk menghasilkan suatu vaksin. Belum lagi jika pengujian berhasil, akan ada waktu tambahan untuk proses produksinya, namun pandemi Covid-19 memaksa pengembangan vaksin secara cepat.
Sejak menyebar dari China ke seluruh dunia di awal tahun ini, Covid-19 telah menyebabkan 4,1 juta orang sakit dan sudah lebih dari 283.000 orang meninggal. Jumlahnya dikhawatirkan masih akan melonjak di gelombang kedua di paruh kedua tahun ini, atau setelah kebijakan karantina di banyak negara dikendurkan.
Vaksin menjadi senjata yang ditunggu. Challenge trials yang semula dianggap kontroversial pun dihalalkan. Seperti namanya, uji tantangan melibatkan pasien yang terinfeksi patogen langsung sebagai relawannya untuk mengamati apakah vaksin atau obat yang sedang dikembangkan bekerja efektif.
Challenge trials sempat diusulkan oleh beberapa anggota parlemen Amerika Serikat. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menentang percobaan ini, dan justru mengeluarkan pedoman untuk pembuat vaksin yang ingin mempercepat pengujian.
WHO berdalih, percobaan langsung ke pasien telah digunakan untuk vaksin di masa lalu, termasuk cacar, demam kuning, malaria, tipus, kolera, dan influenza. Namun, penelitian ini biasanya dilakukan pada penyakit yang sudah memiliki pengobatan yang berhasil, sedangkan hingga saat ini belum ada obat untuk Covid-19.
Risiko yang ada adalah pembuat vaksin harus menginfeksi sukarelawan dengan virus yang tidak dapat disembuhkan. Dan vaksin yang akan diberikan kepada mereka memiliki kemungkinan tidak berfungsi, dan risikonya pasien tersebut dapat sakit lebih parah dan meninggal.
Dekat dengan Wuhan, Ini Cara Hebat Taiwan Tekan Angka Kematian Akibat Corona
WHO lalu menetapkan delapan kriteria untuk studi challenge trials ini di antaranya, penelitian harus mencakup pasien berusia 18-30 tahun untuk meminimalkan risiko komplikasi Covid-19. Relawan juga harus menghabiskan waktu di rumah sakit untuk mencegah mereka menyebarkan penyakit kepada orang lain, dan para ilmuwan harus mengamati mereka lebih dekat.
Keuntungannya, mereka akan dapat menguji secara teratur dan mempelajari kemanjuran obat, serta efek sampingnya. Ujungnya, keuntungan dari eksperiman ini adalah bisa menghasilkan hasil yang jauh lebih cepat, karena penelitiannya akan mirip dengan mempelajari subjek hewan.
Pada proses yang normal, semakin tinggi fase pengujian vaksin, semakin banyak sukarelawan diperlukan, dan mereka perlu diamati untuk jangka waktu yang lama. Itu karena para sukarelawan ini tidak terinfeksi penyakit ini dengan sengaja. Namun, mereka masih dapat terpapar, dan para peneliti akan melakukan pemeriksaan rutin untuk melihat apakah vaksinnya berfungsi.
Beberapa komunitas ilmiah mendukung penerapan challenge trials khusus untuk kasus Covid-19.
Direktur Pusat Bioetika Tingkat Populasi dari Rutgers University, Nir Eyal, menerangkan, ada konsensus yang muncul di antara semua orang yang telah memikirkan hal ini dengan serius.
“Berita besarnya adalah WHO tidak mengatakan challenge trials dilarang, ini menentukan langkah yang masuk akal tentang bagaimana pengujian dilakukan,” katanya seperti dilansir Bisnis.com.
Profesor Andrew Pollard, pemimpin program pengembangan vaksin di Institut Jenner University of Oxford, memiliki minat besar dalam percobaan ini namun mengakui sangat hati-hati.
“Tapi saya pikir itu tidak perlu dikesampingkan karena itu bisa menjadi salah satu cara kita mendapatkan jawaban, lebih cepat,” katanya.
Namun, tidak jelas kapan challenge trials untuk kandidat vaksin Covid-19 dimulai.
Sekarang posisi WHO sudah diketahui, dan kemungkinan beberapa laboratorium yang mengembangkan obat-obatan ini akan mulai mempertimbangkan uji coba tantangan mereka sendiri.
Saat ini penelitian vaksin Covid-19 telah dilakukan oleh lebih dari 115 tim peneliti dan ada lebih dari 14.000 orang di lebih dari 100 negara yang terlibat. Beberapa dari mereka bahkan telah memberikan janji dalam pengujian laboratorium dan telah mencapai berbagai fase uji coba hewan dan manusia.
Dekat dengan Wuhan, Ini Cara Hebat Taiwan Tekan Angka Kematian Akibat Corona
Biro Investigasi Federal (FBI) AS dan pakar keamanan dunia maya yakin peretas China berusaha mencuri hasil penelitian tentang pengembangan vaksin untuk melawan Virus Corona, menurut laporan dua surat kabar terkemuka.
FBI dan Departemen Keamanan Dalam Negeri berencana untuk mengeluarkan peringatan terkait peretasan oleh China ketika pemerintah dan perusahaan swasta berlomba untuk mengembangkan vaksin untuk Corona. Menurut harian Wall Street Journal dan New York Times sebagaimana dikutip ChannelNewsAsia.com Selasa (12/5/2020).
Para peretas juga mengincar informasi dan kekayaan intelektual tentang perawatan dan pengujian untuk Corona. Para pejabat AS menuduh peretas itu terkait dengan pemerintah China, menurut laporan tersebut.
Sementara itu, di Beijing, juru bicara kementerian luar negeri Zhao Lijian menolak tuduhan tersebut dengan mengatakan China dengan tegas menentang semua serangan dunia maya.
“Kami memimpin dunia dalam pengobatan Covid-19 melalui penelitian vaksin. Adalah tidak bermoral menuding China dengan rumor dan fitnah tanpa adanya bukti,” kata Zhao.
Institut Kesehatan Nasional (National Institutes of Health) Amerika Serikat menyebut vaksin virus corona yang tersedia tak hanya satu melainkan hingga tiga vaksin.
Dikutip dari Bloomberg, Selasa (12/5/2020), Direktur NIH AS, Francis Collins mengungkapkan optimismenya terhadap vaksin virus corona. Menurutnya, tes harus dilakukan dan memastikan bahwa vaksin yang bisa melawan virus corona aman dan efektif.
Dia menilai vaksin tersebut kemungkinan memiliki karakteristik berbeda. Oleh karena itu, dia pun perlu memasangkan populasi tertentu yang cocok menggunakan vaksin itu.
“Harapan saya dan saya cenderung seorang optimis bahwa kami tak hanya menemukan satu melainkan tiga vaksin yang ampuh,” katanya.
Adapun, Collins yang mulai memimpin NIH pada 2009 itu menilai dana yang tersedia bisa mendukung produksi cepat hingga 300 juta sebelum Januari.
Riset Cuaca Panas Pembasmi Corona di Balik Kekompakan Jokowi-Trump
Kendati bakal diproduksi massal, dia menyebut para pekerja medis dan pasien dengan kondisi parah akan berada di daftar prioritas vaksin. Barulah setelah itu, pembagiannya bisa dilanjutkan untuk memenuhi kebutuhan global dan didistribusikan ke negara dengan dampak terparah.
Pada April, NIH telah meluncurkan program kerja sama dengan 16 perusahaan biofarmasi untuk pengembangan dan produksi.
“Pertama, dengan 10 juta kemudian mungkin 100 juta pada akhir musim gugur dan mungkin 300 juta pada Januari,” katanya.
Dia pun menyebut untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin, diperlukan dana yang banyak. Namun, dia tak menuturkan sumber pendanaannya secara terperinci. “Berapapun yang dibutuhkan namun harus cepat dilakuka. n,” katanya.
Selain terkait dengan vaksin, Collins pun memberikan pendapatnya tentang potensi mutasi virus. Menurutnya, virus corona merupakan virus RNA bisa bermutasi namun pada tingkat yang bisa diproyeksikan.
“Sejauh ini, saya rasa tak ada hal yang perlu dikhawatirkan secara khusus. Masih belum jelas apakah setiap orang memiliki konsekuensi berbeda terhadap perilaku virus,” katanya.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…