Saya mengenal Arswendo Atmowiloto sebagai wartawan sekaligus sastrawan. Warisan dia sesungguhnya lebih dari sekadar itu, lebih dari karya sastra yang dia tinggalkan dan jejak-jejak kerja serta karya jurnalisme yang dia tinggalkan.
Arswendo meninggal pada Jumat, 19 Juli 2019, pukul 17.50 WIB, pada usia 70 tahun. Dia mengidap penyakit kanker kandung kemih dan menjalani perawatan cukup lama. Dia dikebumikan pada Sabtu, 20 Juli 2019, di Sandiego Hills, Karawang, Jawa Barat setelah disemayamkan di rumah duka Kompleks Kompas, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan.
Saya mengenal Arswendo dalam perspektif saya sebagai penikmat karya-karya dia sebagai wartawan cum sastrawan. Saya tidak mengenal dia secara pribadi. Saya hanya beberapa kali bertemu dia dalam forum seminar atau diskusi sastra Indonesia dan sastra Jawa di–antara lain–Solo, Jogja, dan Surabaya.
Kali terakhir saya bertemu dia—dalam forum diskusi sastra Jawa—adalah dalam acara Kongres Sastra Jawa di Bojonegoro, Jawa Timur, beberapa tahun lalu. Saat itu saya tak sempat berdiskusi intensif dengan dia. Saya datang lebih dulu. Dia muncul saat sesi ngudarasa tentang sastra Jawa bersama dia.
Di acara itu—berdasarkan rasan-rasan dengan panitia acara–Arswendo ”sambatan” paling banyak. Dia urun dana dari kantong pribadinya untuk penyelenggaraan Kongres Sastra Jawa itu. Saya melihat dia begitu dihormati di kalangan sastrawan Jawa dan pencinta sastra Jawa yang hadir dalam acara itu.
Tentu penghormatan itu bukan dalam konteks ”feodal”. Dia sangat dihormati justru karena dia melebur dengan mereka, sangat egaliter saat berada di tengah-tengah para sastrawan Jawa itu. Nyek-nyekan, bercanda, saling lempar kritik, dan makan bersama. Sesi mengobrol bebas dengan dia adalah sesi yang sangat egaliter.
Arswendo memang punya pertautan khusus denagan dunia sastra Jawa. Dari riwayat karier kewartawanan dan kesastraan, Arswendo memang pernah intensif bergelut di sastra Jawa dan jurnalisme berbahasa Jawa. Ia pernah terlibat dalam pengelolaan Mingguan Darma Kandha di Kota Solo. Para sastrawan Jawa senior sangat mengenal Arswendo dan sangat menghormati dia.
Dalam konteks pertautan sastra Jawa dan sastra Indonesia itu Arswendo pernah berkata bahwa sastra Jawa modern—bisa jadi—tak harus hadir dalam wujud karya sastra berbahasa Jawa. Sastra Jawa bisa saja hadir dalam wujud karya sastra berbahasa Indonesia. Kejawaan sebagai roh. Pendapat dia ini, dalam perspektif saya, sangat memesona.
Arswendo lahir di Harjodipuran, Solo, pada 26 November 1948. Ia anak ketiga dari enam bersaudara. Sarono adalah anak sulung. Belakangan Sarono mengubah nama menjadi Satmowi Atmowiloto. Adik Sarono adalah Kamtinah, Arswendo, Kamtari, Sarsidi, dan Kusukaningsih.
Ayah mereka bernama Djoko Kamit yang belakangan hari kemudian mengubah nama menjadi Atmo Wiloto. Djoko Kamit meninggal pada usia 68 tahun, pada 1960, saat Arswendo masih duduk di kelas V sekolah dasar. Ibu mereka, Sarijem, meninggal pada 1965. Pada usia 17 tahun Arswendo telah yatim piatu.
Kemiskinan dan keterpepetan itulah yang menjadi salah satu pendorong Arswendo—nama aslinya Sarwendo yang kemudian dia tambahi nama ayahnya Atmo Wiloto—menekuni dunia tulis menulis. Reportase Agus Sopiaan berjudul Wendo dan Tujuh Samurai yang terbit di Majalah Pantau edisi Januari 2002 menggambarkan dengan sangat lengkap riwayat perjalanan karier Arswendo di jagat jurnalisme dan sebagian sastra Indonesia.
Reportase sepanjang 17 halaman itu menceritakan dengan sangat komprehensif perjalanan Arswendo sejak di Solo hingga kemudian menjadi salah seorang bos di Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Ia dalam jagat jurnalisme Indonesia dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor yang mengukir ”sejarah” dengan angket orang terkenal.
Angket inilah yang menyebabkan Tabloid Monitor ditutup dan Arswendo terjun bebas dari seorang ”bos tak terlawan” di KKG menjadi seorang tanpa pekerjaan yang bahkan tak menerima uang serupiah pun saat dipecat dari KKG. Kisah angket orang terkenal inilah yang sampai hari ini diingat banyak orang ketika nama Arswendo Atmowiloto disebut. Dalam perspektif kekinian, Arswendo adalah bagian dari ”politik identitas” pada zaman itu.
Dalam pemaknaan saya, orang banyak di negeri ini, pada hari ini, baik yang memahami karena hidup pada masa itu atau memahami karena membaca ”catatan sejarah”, mengenal Arswendo hanya sebagai bos Tablodi Monitor yang ”ketiban sial” karena bikin angket orang terkenal yang hasil angket itu memosisikan dirinya berperingkat lebih tinggi (lebih terkenal) dibanding Nabi Muhammad SAW.
Saya memaknai karya dan eksistensi Arswendo lebih dari itu. Meminjam judul salah satu novel karya dia, Senopati Pamungkas, saya memaknai karya Arswendo di jagat sastra dan jurnalisme pada era 1980-an hingga 1990-an—saya tumbuh sebagai kanak-kanak para akhir 1980-an dan menginjak remaja pada awal 1990-an—sebagai karya yang memosisikan dirinya sebagai senapati budaya populer pada masa itu.
Arswendo berkarya—di jagat sastra dan jurnalisme—dalam kerangka budaya populer yang wujudnya adalah budaya pustaka, memopulerkan budaya pustaka, menghasilkan karya pustaka yang populer, dan berbudaya populer dalam ranah pustaka. Itulah Arswendo yang saya kenal.
Kali pertama saya mengenal karya-karya Arswendo adalah saat saya kelas I-III SMP di kawasan kaki Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masa itu adalah masa ketika saya intensif membaca Majalah Remaja Pria HAI.
Masa sekolah dasar saya pembaca Majalah Bobo, Majalah Ananda, dan Majalah Kuncung. Ketika menginjak SMP, bacaan saya mulai berubah, saya jatuh cinta kepada Majalah HAI. Saat itu saya sering—kadang-kadang dibelikan ibu saya—membeli majalah HAI bekas, termasuk Majalah HAI edisi lawas yang terbit ketika saya belum bisa membaca aksara Latin, bahkan ketika saya belum lahir.
Saya juga rutin membeli Majalah HAI edisi baru yang terbit tiap—kalau tak salah ingat—Selasa. Saya biasa membeli Majalah HAI di kios buku dan majalah di Pasar Pakem. Tempo-tempo, ketika saya menjadi siswa SMA, saya membeli Majalah HAI di kios majalah dan koran di seberang Mirota Kampus, Jogja.
Dari Majalah HAI edisi lawas itulah saya jatuh cinta dengan cerita pendek dan cerita bersambung karya Arswendo. Yang sangat mengakar kuat di memori saya adalah serial Imung, serial detektif dengan tokoh seorang remaja, kemudian serial Keluarga Cemara, dan novel Senopati Pamungkas.
Senopati Pamungkas sebagian saya baca di Majalah HAI edisi lawas yang jamak saya beli seikat sekaligus, seikat HAI lawas itu bisa berisi 10-30 edisi. Harganya tergantung tawar-menawar dengan penjualnya. Seingat saya serial Senopati Pamungkas ini muncul di Majalah HAI pada 1984. Saya membacanya beberapa tahun kemudian ketika saya jadi siswa SMP.
Senopati Pamungkas kemudian saya baca lengkap dalam bentuk novel berwujud buku saku. Saya tidak membeli dan memiliki novel tersebut kala itu. Saya membacanya dengan meminjam novel-novel itu di Perpustakaan Sunya Desa di ibu kota Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada Minggu atau saat libur sekolah saya sering berlama-lama di perpustakaan di samping gereja ini. Seingat saya ya novel Senopati Pamungkas itu yang paling mengakar kuat dalam memori saya hingga saat ini. Novel lain yang saya baca di perpustakaan itu adalah Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.
Dalam pemaknaan saya sekarang Senopati Pamungkas adalah karya ciamik Arswendo yang berbasis sejarah namun ditulis dengan gaya populer. Saya yang saat itu siswa SMP bisa memahami dengan jelas kisah di novel “kelas berat” itu.
Fokus kisah Senopati Pamungkas yang teringat kuat di memori saya adalah kesatria Upasara Wulung yang mendarmabaktikan hidupnya untuk kejayaan negeri yang dia cintai. Senopati Pamungkas berlatar era akhir Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Demak.
Serial Imung dan Keluarga Cemara dalam pemaknaan saya kini adalah karya Arswendo yang pekat dengan pendidikan karakter. Ciri utama serial ini—sepenangkapan saya—adalah kesederhanaan, kenestapaan, sekaligus keceriaan dan optimisme.
Kisah detektif Imung mengisahkan kisah-kisah pelik khas detektif namun dengan pendekatan yang sangat ”membum”. Buktinya adalah saya yang kala membaca serial ini masih siswa SMP di kawasan kaki Gunung Merapi bisa merasa larut dalam kisah tersebut.
Serial Keluarga Cemara adalah kisah tentang kesederhanaan, kegetiran, keputusasaan sekaligus optimisme, yang selalu dibalut dengan kegembiraan. Nilai-nilai yang dieksplorasi Arswendo melalui tokoh Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil bersama para tokoh lainnya, termasuk tokoh antagonis, saya rasakan sangat membumi dengan zaman ketika saya memasuki masa remaja kala itu.
Saya mendapatkan banyak pelajaran dari tiga karya Arswendo tersebut. Itulah mengapa hingga hari ini, kenangan tentang membaca dan memaknai Imung, Keluarga Cemara, dan Senopati Pamungkas begitu membekas sangat dalam di benak saya.
Ketika saya telaah ulang pada hari ini ihwal pengalaman saya membaca karya-karya Arswendo dan kerja-kerja dia di Majalah HAI, saya menemukan kesimpulan sesungguhnya pada masa itu Arswendo berhasil menciptakan ikon budaya populer yang mewujud dalam bentuk budaya pustaka.
Status Arswendo sebagai bos Majalah HAI pada 1980-an hingga 1990-an menjadikan majalah itu sebagai ikon budaya populer remaja laki-laki masa itu. Remaja lelaki yang pembaca Majalah HAI pastilah remaja literer, cerdas, berwawasan luas (termasuk saya mestinya…hehehe).
Majalah HAI era Arswendo melahirkan banyak penulis yang sebagian pada hari ini masih berkarya. Di Majalah HAI era Arswendo itulah saya mengenal Hilman Hariwijaya si kreator Lupus dan Gol A Gong yang bernama asli Heri Hendrayana Harris si kreator Balada Si Roy.
Pada masa saya SMA, Lupus dan Roy itulah role model yang memengaruhi pembangunan jiwa dan kepribadian saya. Arswendo sering ”muncul” di serial Lupus karya Hilman. Dia muncul sebagai bos Majalah HAI yang sering menugasi Lupus (alter ego Hilman) reportase tentang musik dan kehidupan artis atau sastrawan.
Kisah ini yang menginspirasi saya memilih profesi wartawan. Saya pernah menulis esai agak panjang tentang pengaruh Lupus dalam pribadi saya yang kemudian membuat saya mantap memilih profesi wartawan sebagai jalan hidup saya hingga hari ini. Naskah itu bisa Anda temukan di blog saya.
Lupus, Hilman, dan Arswendo jelas ada dalam pertautan erat dengan simpul Majalah HAI. Si Roy sebagai alter ego Gol A Gong mengajari saya tentang hidup yang keras tetapi harus dihadapi dengan kelembutan dan optimisme. Saya yakin kehadiran Lupus dan Roy pasti atas supervisi Arswendo. Tak mungkin dua serial ini muncul di HAI tanpa dibaca dulu oleh Arswendo.
Saya yakin banyak remaja yang semasa dengan saya, yang literer, merasakan buah budaya populer yang difasilitasi Arswendo dengan simpul Majalah HAI itu. Kepergian Arswendo memunculkan persepsi dalam diri saya, bahwa peninggalan terbesar—dalam pemaknaan saya—Arswendo sebagai sastrawan dan jurnalis adalah keberhasilan dia menghadirkan ikon budaya populer untuk remaja era 1980-an hingga 1990-an melalui kerja-kerja jurnalisme dan kesastraan.
Majalah HAI sebagai ikon budaya populer remaja laki-laki pada era itu jelas sangat berhasil menciptakan kerumunan remaja-remaja se-Indonesia dalam label “pers abu-abu”, ”pesta seni”, mode-mode pakaian yang diiklankan di HAI, dan lain sebagainya. Keistimewaan dia adalah menciptakan ikon budaya populer itu dalam wujud budaya pustaka: membaca dan menulis.
Tabloid Mingguan Monitor yang dikelola Arswendo sebelum ditutup karena kasus angket orang terkenal sesungguhnya bisa dimaknai sebagai intervensi budaya pustaka atas budaya visual (menonton televisi saat itu). Tablodi Monitor berfungsi menjadi semacam panduan menonton televisi. Sebelum menonton televisia baca dulu Tabloid Monitor.
Sesungguhnya kredo jurnalisme yang diusung Monitor kala itu memang “absurd” dan bergejala “merusak”. Praksis jurnalisme yang dipraktikkan mirip dengan jurnalisme yang dipraktikkan sebagian media dalam jaringan (daring) era kini. Sensasi jadi menu utama. Untungnya tak sekadar sensasional. Yang jelas, seingat saya, kala itu Monitor agar longgar dalam urusan verifikasi. Sensasi dulu, tanggapan belakangan….
Dengan praksis demikian itu, saya memaknai Arswendo adalah senapati bisnis media yang saat itu berhasiil mencipta budaya populer dan pada saat bersamaan dia juga menyemai benih budaya pustaka. Dua hal yang bertentangan, namun bisa dia lakukan. Itulah senapati (atau senopati dalam bahasa Jawa), pemimpin tentara atau panglima perang…. Perang di bisnis media (saat itu) dan budaya populer.
Salah satu bukti tak terbantahkan Arswendo layak digelari senapati budaya pustaka adalah dua buku karya dia yang pada masa itu laris manis. Dua buku itu menginspirasi banyak remaja era itu belajar menulis. Dua buku itu adalah Mengarang Itu Gampang dan Mengarang Novel Itu Gampang.
JEDA.ID — Berikut ini terdapat daftar lokasi pembantaian yang melibatkan Partai Komunis Indonesia atau PKI…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat deretan wisata di dekat atau sekitar Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah,…
JEDA.ID — Masa pensiun kerap menjadi momok bagi sebagian orang lantaran sudah tidak adanya penghasilan…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat spesifikasi lengkap dari Sirkuit Mandalika di Lombok yang sempat mencuri perhatian…
JEDA.ID — Berikut ini terdapat potret ganteng seorang polisi di Instagram bernama Ega Prayudi, yang merupakan…
JEDA.ID — Apa bunyi bacaan doa dan zikir agar cepat mendapatkan pekerjaan yang diinginkan menurut…